BAGAIMANA MENDISIPLINKAN ANAK DALAM KELUARGA KRISTEN
Oleh Samson H
Pernahkan merasa putus asa mendidik anak-anakmu agar mau menaati apa yang engkau perintahkan? Atau pernahkah mendengar seseorang mengeluh dan hampir putus asa dalam mendidik anak-anaknya? Setiap orangtua pasti pernah merasa kesulitan dalam mendidik dan mengajar anak-anaknya terutama ketika sudah memasuki usia remaja. Mereka cenderung melawan dan memberontak serta tidak mengindahkan nasihat orangtua. Mereka hanya ingin merdeka dan bebas semaunya seperti burung yang dilepas dari sangkar bebas terbang kemana saja ia mau. Ketika ada pembatasan dan peraturan dari orangtua, mereka merasakannya sebagai siksaan dan cambukan karena tidak bisa melakukan apa yang diinginkan seperti yang diperbuat teman-teman sebayanya. Sebagai akibatnya terjadi pertengkaran antara anak laki-laki dengan ayahnya, antara anak perempuan dengan ibunya. Semua ini terjadi akibat adanya ketidaksinkronan pendapat di antara orangtua dan anak-anaknya dan ketidaktaatan serta ketidakperdulian anak-anak terhadap perintah orangtuanya.
Dalam keadaan seperti ini, sering orangtua merasa putus asa dan tidak dihargai anak-anaknya serta bertanya dalam hati, “Apa yang sedang terjadi dengan keluarga saya? Kepana semua ini bisa terjadi kepada saya dan keluarga saya? Bukankah anak-anaku semasau kecil berprilaku baik dan penurut, lalu kenapa sekarang mereka berubah dan memberontak?” Banyak pertanyaan-pertanyaan timbul ketika mengalami situasi sulit seperti ini terutama ketika orangtua tua sudah mengalami dipresi dan habis akal dalam menghadapi prilaku anak-anaknya.
Keadaan paling buruk bisa terjadi dalam keluarga Kristen ketika anak-anaknya tidak lagi perduli dan mengindahkan hal-hal rohani. Jika sebelumnya mereka begitu bergairah dalam menghadiri program-program sekolah minggu, dengan berjalannya waktu, semangat itu hilang tanpa bekas. Mereka lebih suka bersukaria dan berkumpul bersama dengan teman-temannya ketimbang meluangkan waktu dalam membangun kerohaniannya. Mereka memilih menghabiskan waktunya di luar rumah ketimbang bercengkrama dengan anggota keluarganya. Rasa kebersamaan semakin menipis sehingga rasa menghargai dan memperdulikan juga semakin pudar. Keluaga semakin tidak harmonis dan pertengkaran serta perdebatan sering tidak terelakkan.
Lalu orangtua dalam kesendiriannya menepuk dada dan menangisi keadaan keluarganya serta berkata, “Kenapa semua ini bisa terjadi dalam keluarga saya?” Situasi dan keadaan seperti ini bisa terjadi dalam setiap keluarga Kristen. Iblis selalu menunggu momen-momen penting untuk menghancurkan keluarga Kristen. Iblis tertawa terbahak-bahak ketika keluaga Kristen hancur berantakan sehingga keluarga itu tidak lagi memperdulikan Tuhan dan kerohanian.
Yang menjadi pertanyaan penting di sini, pakah prilaku anak-anak yang suka memberontak dan mengabaikan kerohanian terjadi secara tiba-tiba dalam keluarga Kristen? Jawabannya Tidak! Tidak ada yang terjadi secara tiba-tiba. Prilaku yang dipertunjukkan anak-anak di masa remaja merupakan klimaks dari apa yang sudah terjadi sejak masa kecil dan belita. Tanpa disadari, apa yang terjadi dalam prilaku anak-anak yang tidak mengindahkan nasihat dan teguran merupakan akibat dari apa yang disepelehkan orangtua selagi anak-anak masih kecil. Atas nama “kasih sayang dan cinta” orangtua kepada anak-anaknya telah berdampak buruk pada prilaku mereka ketika sudah menginjak remaja dan dewasa. Mereka tidak menghormati orangtua dan tidak mengindahkan apapun yang disampaikan orangtuanya karena umumnya para orangtua tidak mendisiplinkan anak-anaknya ketika mereka masih kecil. Mereka “dimanjakan” dengan mengikuti apa yang diinginkan si anak. Sebagai akibatnya, anak-anaknya tidak menghormati dan menghargai orangtuanya. Setelah menginjak masa remaja karakter si anak semakin nyata. Mereka ingin menjadi raja bagi dirinya sendiri, dan tidak mau menaati perintah.
Saya ingin membawa pembaca pada masa lampau ketika pertama kali memutuskan membangun rumah tangga. Mungkin masih ingat masa-masa indah berpacaran atau bertunangan. Namun saya tidak akan menyinggung segala kesenangan duniawi dan liburan bulan madu yang indah dan menyenangka. Saya hanya ingin mengingatkan kembali pada masa persiapan pernikahan dan pemberkatan nikah. Apakah engkau mengikuti Konseling Pranikah yang diprogramkan gereja? Berapa sesi pertemuan yang diikuti dan apa yang dipelajari pada saat itu? Jika pembaca mengikuti program Konseling Pranikah dengan tuntas, maka bersyukurlah kepada Tuhan karena setidaknya engkau mendapatkan pemahaman tentang apa itu keluarga Kristen dan bagaimana membangun keluarga Kristen serta mengetahui apa tanggungjawab seorang suami dan isteri dalam keluarga. Tetapi sebaliknya jika tidak mengikuti program ini karena gereja tidak memiliki program itu atau karena secara tradisi budaya dari mana pembaca berasal tidak memiliki kebiasaan konseling seperti itu, maka sesungguhnya engkau kehilangan banyak berkat dalam membangun rumah tangga keluarga Kristen karena engkau tidak mengetahui apa yang diajarkan Tuhan tentang keluarga Kristen. Sebagai akibatnya engkau hanya membangun keluarga barumu berdasarkan apa yang engaku amati di lingkungan dimana engkau tinggal dan apa yang engkau lihat dari keluarga sanak-saudaramu serta apa yang disampaikan para orangtua di sekitarmu. Tentu apa yang engkau dapatkan dari mereka semuanya tidak didasarkan pada Firman Allah tetapi hanya didasarkan pada pengalaman semata.
Saya tidak mengatakan bahwa setiap pasangan yang mengikuti program konseling pranikah itu akan memiliki keluarga harmonis dan berkenan kepada Tuhan karena semuanya tergantung pada siapa yang mengajarkan dan kearah mana pasangan itu dibimbing serta sejauh mana pasangan itu menerapkan pengetahuana yang diterima. Jika pengajar membawanya pada apa yang diajarkan Firman Allah saja maka penerima konseling itu akan sangat diberkati. Tetapi jikalau pengajar membimbingnya kearah konseling sekuler, metode manusia, dan mengabaikan apa yang dikatakan Firman Tuhan maka konseling itu tidak bermanfaat sama sekali.
Di sisi lain, sekalipun pengajar dan materi yang dibawakan dalam konseling pranikah sangat bangus, tidak secara otomatis pasangan itu akan membangun keluarganya sesuai dengan apa yang diajarkan Tuhan dalam Alkitab. Semua tergantung pada seberapa peka dan berdedikasi mereka dalam menerapkan apa yang dipelajari selama masa konseling itu. Jika tidak mengindahkan apa yang diajar dan disehati, maka mereka juga tidak mendapatkan apapun dari konseling itu. Komitmen suami isteri dalam membangun rumah tangga sesuai dengan apa yang diajarkan Tuhan harus menjadi yang paling utama dan tidak bisa diabaikan. Dengan demikian, Tuhan Yesus sungguh-sungguh menjadi Kepala dari rumah tangga dan suami menjadi kepala dibawahnya yang akan memimpin isteri dan anak-anaknya. Hirarki sedemikian harus selalu diingiat keluarga Kristen dimana isteri tunduk kepada suami, “Hai Isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Efesus 5:22) dan anak-anak tunduk kepada ayah dan ibunya. Namun suami harus menyadari bahwa ada Kristus yang mengepalai di atasnya sehingga ia tidak bisa bertindak semena-mena di luar petunjuk dan perintah Tuhan.
“Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” (1 Korintus 11:3).
Paulus juga berkata demikian,
“22Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, 23karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. 24Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. 25Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya 26untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, 27supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela” (Efesus 5:22-27).
Namun demikian, saya perlu menggarisbawahi di sini bahwa konseling pranikah bukan segala yang dibutuhkan dalam membangun rumah tangga. Itu hanya titik awal dan arahan awal yang harus dimiliki keluarga Kristen. Dalam konseling pranikah itulah suami diajarkan tentang tanggungjawabnya sebagai pemimpin rohani bagi isteri dan anak-anaknya. Ia harus mengajar isteri dan anak-anaknya untuk mencintai Tuhan dan Firman serta gerejaNya. Ia harus memimpin isteri dan anak-anaknya dalam perenungan dan pembacaan Firman Allah siang dan malam (Mazmur 1:1-3). Inilah jalan yang ditetapkan Allah untuk bertumbuh secara rohani.
Di sisi lain, konseling pranikah itu juga mengajar isteri tentang tanggungjawabnya sebagai seorang isteri dan ibu dari anak-anaknya. Ia harus tunduk dan menghormati suaminya. Ia harus menyadari bahwa suami adalah pengambil keputusan dalam keluarga dan bukan sebaliknya. Ia harus tunduk kepada suaminya karena Tuhan memerintahkan demikian. Selama tahun-tahun yang akan dilalui bersama sebagai suami dan isteri, prinsip ini harus menjadi pedoman dalam keluarganya. Ia tidak boleh menyimpang dari prinsip ini.
Lalu apa yang akan dilakukan keluarga Kristen yang baru memiliki anak? Di sinilah tantangan dan ujian baru bagi keluarga Kristen. Di sinilah awal keberhasilan atau kegagalan kelak dalam mendidik dan mendisiplinkan anak-anak yang Tuhan berikan kepada mereka. Kebanyakan orang beranggapan bahwa ketika sebuah keluarga memiliki anak, suami dan isteri akan secara otomatis mengetahui bagaimana mengurus anak-anaknya. Memang benar, suami dan isteri akan mengetahui mengurus dan memberi makan anak-anaknya karena itu adalah naluri (insting) seorang ayah dan ibu. Namun naluri seperti ini dimiliki setiap manusia yang memilik anak tanpa memperdulikan agamanya. Tetapi naluri seorang ayah dan ibu tidak cukup dalam mendidik dan mendisiplinkan anak sesuai dengan Firman Allah. Naluri memiliki keterbatasan dan naluri hanya mengingatkan manusia siapa ia di hadapan Tuhan yaitu manusia berdosa yang rusak total dan kehilangan kemuliaan Allah. Ia tidak bisa menghasilkan suatu kebaikan sejati sesuai dengan standar yang ditetapkan Allah. Ia tidak mampu melakukan kebaikan seperti yang Tuhan inginkan karena ia sudah rusak total dan keinginan manusia alami hanya ingin menikmati dosa dan kenginan daging. Sebagai akibatnya, suami dan isteri yang tidak menjadikan Yesus Kistus Kepala dari rumah tangganya hanya akan melakukan apa yang dilihat dan didengar dari lingkungan dan keluarganya. Mereka tidak memiliki pedoman agung sebagai pedoman dan tuntunan. Itulah sebabnya keluarga Kristen harus terus-menerus menjalin persekutuan dan komunikasi dengan Kristus melalui doa dan pembacaan Firman agar mereka memiliki pikiran Kristus dan mengetahui cara membimbing anak-anaknya di dalam Tuhan. Keluarga Kristen harus terus belajar dan memperlajari Firman Allah sehingga suami dan isteri selalu diingatkan akan tanggungjawabnya dalam keluarga.
Namun demikian, saya ingin menyampaikan bahwa sesungguhnya pembangunan keluarga Kristen bukan semata-mata merupakan tanggungjawab keluarga Kristen saja tetapi juga tanggungjawab gereja. Gereja HARUS memiliki program khusus bagi keluarga-keluarga Kristen yang baru memiliki anak sehingga para suami dan isteri terus menerus diajarkan bagaimana menjadi seorang ayah dan ibu yang baik sesuai dengan Firman Allah. Dalam saat yang sama mereka akan diajarkan apa yang harus mereka lakukan dalam mendidik dan mendisiplinkan anak-anaknya sejak dini. Gereja tidak bisa melepaskan diri dari tanggungjawab ini karena jika keluarga-keluarga Kristen hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan menjadi keluarga Kristen yang kuat di dalam Tuhan, maka gereja akan memiliki calon-calon pemimpin di di kemudian hari. Gereja tidak akan kesulitan memilih dan mengangkat diaken dan penatua dalam gereja. Tetapi sebaliknya, jika keluarga-keluarga Kristen tidak dibina dengan benar maka gereja juga tidak memiliki pemimpin-pemimpin rohani. Sekalipun pemilihan diaken dan penatua dilakukan, gereja kesulitan mendapatkan orang-orang rohani, dan sebagai akibatnya, gereja mengangkat diaken dan penatua yang tidak pernah membaca Alkitab, tidak pernah berdoa dan tidak rohani, bahkan tidak jarang gereja harus memilih pemimpin dari para pemabuk karena tidak miliki calon yang lebih baik. Syarat-syarat pemimpin gereja yang ditetapkan Paulus dalam 1 Timotius 3 dan Titus 1 tidak bisa diterapkan dalam gereja karena jika hal itu dilakukan, tak satupun yang bisa diangkat menjadi diaken dan penatua. Bukankah hal ini sangat mengerikan? Bukankah hal itu merupakan kehancuran gereja?
Oleh karena itu gereja harus memiliki andil dalam membina keluarga-keluarga Kristen menjadi keluarga rohani yang takut akan Tuhan dan yang ingin membangun rumah tangganya sesuai dengan Firman Allah. Para suami akan mengetahui tanggungjawabnya, bukan hanya sebagai pencari nafkah untuk isteri dan anak-anaknya tetapi juga sebagai pemimpin rohani bagi isteri dan anak-anaknya. Ia memiliki tanggungjawab dalam membangun kerohanian isteri dan anak-anaknya. Ia bukan seorang suami yang takut akan isteri dan membiarkan isterinya sebagai pengambil keputusan dalam rumah tangganya. Hal seperti itu tidak alkitabiah. Tuhan menetapkan suami menjadi kepala rumah tangga dan pemimpin bagi isteri dan anak-anaknya dalam segala hal dalam keluarganya.
Bagaimana hal konseling pranikah dan hal keluarga Kristen rohani berpengaruh pada karakter anak-anak dalam keluarga Kristen? Dalam konseling pranikah, suami dan isteri diajar tentang tanggungjawab mereka masing-masing. Begitu pemberkatan nikah usai, suami harus mulai bertindak sebagai pemimpin rohani bagi isterinya. Saat mereka masih berdua mereka harus membiasakan kesadaran itu dan suami harus memimpin isterinya dalam pembacaan dan perenungan Firman Tuhan serta doa. Hari lepas hari, kebiasaan ini harus melekat pada mereka berdua dan kebiasaan bersekutu di dalam Tuhan harus menjadi kesukaan mereka. Maka ketika mereka memiliki anak, apa sudah menjadi kebiasaan mereka selama ini akan dilakukan bersama anaknya yang baru lahir. Si anak memang tidak bisa mengerti apa yang dilakukan orangtuanya tetapi ketika ia mulai belajar bicara dan duduk, ia sudah memahami apa kebiasaan dalam keluarganya, yaitu, bernyanyi, berdoa, membaca dan merenungkan Alkitab. Si anak harus dibiasakan duduk bersama selama kegiatan rohani tersebut. Memang sulit, dan terkadang harus mengulang dan mengulangnya kembali, itu hal biasa dan jangan pernah putus asa sekalipun si anak rewel dan sebagainya. Usahakan kegiatan rohani itu terus jalan dan jika berhenti karena satu dua hal, harus dilanjut lagi.
Percayalah, dengan pertolongan Tuhan, si anak lambat laun akan mengerti dan akan bisa duduk dengan tenang selama pembacaan dan perenungan Firman Tuhan. Tentu aplikasi dari apa yang direnungan bisa disampaikan kepada isteri dan si anak sehingga ia tidak merasa seperti tidak berkaitan dengan pembacaan dan perenungan itu. Hal ini bisa diteruskan untuk anak kedua dan ketiga dan seterusnya.
Masalah yang dihadapi orangtua
Banyak orangtua mengira bahwa anak-anakya yang berubah menjadi anak-anak yang tidak taat, tidak hormat dan tidak perduli, terjadi setelah mereka menginjak masa usia remaja. Pandangan seperti keliru. Apa yang dihadapi banyak orangtua keluarga Kristen sekarang ini tidak berawal pada saat anak-anaknya menginjak usia remaja. Kegagalan orangtua mendidik dan mendisiplinkan anak-anak sejak usia dini telah merusak karakter mereka. Kebanyakan orangtua keluarga Kristen tidak mengetahui bagaimana mendidik dan mendisiplinkan anak-anaknya sesuai dengan Firman Tuhan. Apa yang mereka lakukan hanya mengikuti naluri alama sebagai ayah dan ibu sama seperti yang dilakukan semua orang. Mereka berasumsi akan mengetahui cara mendidik dan mendisiplinkan anak-anaknya ketika tiba saatnya dan ini merupakan kekeliruan karena Alkitab dengan tegas memberikan perintah ini, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6). Untuk memperjelas maksud ayat ini saya merasa perlu melampirkan ayat Alkitab bahasa Inggris di sini, “Train up a child in the way he should go: and when he is old, he will not depart from it” (Proverbs 22:6 – KJV).
Kata “didiklah” di sini merupakan kata perintah, dimana ada suatu tindakan dengan sengaja untuk harus dilakukan dan bukan tindakan alami atau naluri (insting). Bagaimana jika seandainya perintah ini diabaikan, apa yang akan terjadi? Yang akan terjadi, si anak akan mengikuti insting atau nalurinya sebagai manusia berdosa yang rusak total. Ia akan melakukan apa yang ia inginkan dan menuntut orangtuanya mengikuti apa yang ia mau, jika tidak demikian ia akan menjerit dan bertindak “liar dan tak terkontrol.” Apa yang ia ekspresikan hanyalah naluri sifat alami yang rusak total yang telah menjadi tabiat semua manusia alami. Semua anak memiliki tabiat yang sama dan orangtua harus menyadari hal itu. Meskipun si anak kelihatan lucu dan polos, namun ia sama dengan manusia lainnya, memiliki tabiat berdosa dan suka memberontak kepada Tuhan. Itulah sebabnya sejak dini ia perlu mendapatkan didikan dan disiplin sesuai dnegan Firman Tuhan.
Perhatikan kembali Amsal 22:6, di sini disebutkan “orang muda.” Saya merasa terjemahan dalam bahasa Alkitab bahasa Indonesia ini terlalu umum karena sesungguhnya “orang muda” di sini harus diterjemahkan “anak kecil.” Dalam Alkitab bahasa Inggris kata itu diterjemahkan sebagai “a child.” Seorang anak kecil atau a child mengindikasikan bahwa ia masih berada dalam naungan dan pemeliharaan orangtuanya. Sementara kata “orang muda” terlalu umum karena kata itu bisa menunjuk pada mereka yang sudah remaja, pemuda-pemudi atau mereka belum menikah atau bahkan sudah menikah. Oleh karena itu dalam tulisan ini saya akan memakai anak kecil atau a child dalam pembelajaran Amsal 22:6 ini.
Perhatikan kembali frasa yang terdapat dalam Amsal 22:6 dimana para orangtua diperintahkan untuk mendidik atau mentraining anak kecilnya “menurut jalan yang patut baginya.” Apa maksud frasa ini? Yang berbicara di sini adalah Tuhan melalui penulis Kitab Amsal dimana Ia memerintahkan para orangtua untuk mendidik anaknya terus-menerus (bukan satu kali saja) menurut jalan Tuhan sebagaimana diajarkan dalam Alkitab. Dengan kata lain orangtua harus kembali kepada Firman Allah untuk mendapatkan pengajaran mendisiplikan dan mendidik anak. Konsep “menurut jalan yang patut baginya” bukan menurut jalan atau cara pikir orangtuanya tetapi menurut jalan yang ditetapkan Tuhan bagi setiap orang percaya. Bukan juga menurut jalan dan metode yang dituliskan orang-orang dalam buku terlaris dan terpopuler di dunia dimana banyak orangtua dalam kefrustrasiannya mencoba mendapatkan solusi dengan membeli buku-buku terlaris dan mencoba menerapkan kepada anaknya, tetapi semua itu hanya ide dan filsafat manusia. Allah tidak pernah memerintahkan sedemikian karena buku-buku seperti itu tidak akan pernah mengajarkan dan mendidik anak-anak untuk hidup KUDUS dan TUNDUK kepada Tuhan. Justru sebaliknya, konsep yang dituliskan dalam buku-buku tentang mendidik anak selalu bertentangan dengan ajaran Tuhan dalam FirmanNya.
Ingatlah selalu bahwa Firman Allah dinafaskan Allah dan “16. . . bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. 17Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2 Timotius 3:16-17). Ayat ini memberitahukan bahwa Alkitab menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk iman dan praktek kehidupan. Dengan kata lain, Alkitab menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan bagi hubungan suami-isteri, dan mentraining atau mendidik anak-anak dengan efektif.
Ketika orangtua mendidik anaknya menurut jalan Tuhan, si anak diajarkan untuk mengenal pribadi penting selama proses training. Yang pertama, si anak akan menyadari bahwa ada orang lain yang lebih berotoritas daripadanya yaitu orangtuanya sendiri. Inilah yang harus ditekankan orangtua kepada si anak bahwa mereka adalah orangtuanya dan ia harus mendengar perkataan dan menaati mereka. Inilah prinsip dasar dalam mendisiplinkan anak. Ini bukan membuat si anak menjadi takut atau trauma terhadap orangtuanya yang galak dan kejam. Bukan itu tujuannya. Tetapi lebih menyadarkannya bahwa ada otoritas tertinggi yang berkuasa di rumahnya dimana ia tinggal dan dirawat.
Hal kedua, karena si anak dididik menurut jalan Tuhan sesuai dengan Firman Allah. Maka sejak dini si anak sudah diperkenalkan tentang sosok Tuhan yang lebih berkuasa dari orangtuanya. Ia perlu tahu bahwa ia dan orangtuanya memiliki tugas untuk TAAT dan TUNDUK kepada Tuhan. Baik orangtua dan si anak harus sama-sama menyadari hal itu bahwa mereka harus tunduk kepada Tuhan yang diberitakan Alkitab.
Dalam proses training ini, si anak akan bergumul untuk menyadari dua hal penting ini. Tidak ada jalan pintas untuk menanamkan fakta ini dalam diri si anak kecuali orangtua selalu mengingatkan dan mengajarkannya kepada buah hatinya. Itulah sebabnya sejak masih kecil si anak sudah harus diajar untuk berdoa sekalipun ia belum bisa bicara. Kebiasaan itu lambat laun akan terbentuk dan menjadi suatu hal indah dalam hidup si anak.
Jika kembali memperhatikan Amsal 22:6 di bagian terakhir ayat itu terdapat frasa ini, “maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Inilah janji Allah bagi keluarga Kristen yang mendidik anak-anaknya di jalan Tuhan. Jikalau orangtua sungguh-sungguh tunduk pada perintah Tuhan dalam mendidik anak-anaknya di jalan Tuhan sejak dini, niscaya sang anak menjadi orang berandalan dan tidak taat kepada Tuhan. Permasalahan yang dihadapi orangtua keluarga Kristen saat ini yang penuh dengan gejolak dan pergumulan karena pembangkangan anak-anaknya disebabkan kegagalan orangtua dalam mendidik anak-anaknya di jalan Tuhan. Tuhan memberikan janji bagi keluarga Kristen yang melakukan apa yang diperintahkanNya bahwa pelajaran kebenaran yang si anak terima semasa mudanya tidak akan hilang dan tidak akan menyimpang dari kebenaran. Teladan yang diberikan orangtua kepada anak-anaknya akan ditiru anak-anaknya kelak ketika mereka berkeluarga dan memiliki anak.
Namun satu hal yang harus diketahui di sini bahwa mendidik dan mendisiplinkan anak tidak datang dengan sendirinya atau secara alami bagi setiap orangtua. Orangtua harus belajar dari Firman Allah. Gereja harus menyediakan program pembelajaran ini agar keluarga-keluarga Kristen menjadi keluarga rohani.
Harus diakui bahwa banyak orangtua Kristen tidak dibesarkan dalam keluarga rohani atau keluarga yang takut akan Tuhan. Itu disebabkan karena mereka merupakan generasi pertama keluarga Kristen dimana sebelumnya mereka memiliki latarbelakang penyembah berhala. Tetapi ada juga yang berlatarbelakang keluarga Kristen, namun semasa hidup bersama orangtuanya tidak menjalani kehidupan kekristenannya sebagaimana diajarkan Alkitab. Mereka hanyalah umat Kristen yang tidak memperdulikan kerohanian dan tidak memiliki kepekaan terhadap kerhonian. Mereka umat Kristen turun-temurun tanpa pernah memiliki hubungan pribadi dengan Kristen bahkan banyak di antara mereka tidak pernah membaca Alkitab atau merenungan Firman Allah. Semua ini menggambarkan ketidakperdulian terhadap kerohanian. Orangtua sedemikian sudah berangtentu tidak mengetahui bagaimana mendidik dan mendisiplinkan anak-anaknya di dalam Tuhan. Jangankan untuk mencapati tujuan itu, berdoa saja anak-anaknya tidak diajarkan. Sekali lagi ini juga menunjukkan kegagalan gereja dengan mengabaikan semua hal-hal rohani yang bisa membangun kerohanian keluarga Kristen.
Kenapa perlu mendisiplikan anak
Seperti yang sudah saya sampaikan di atas bahwa setiap orang yang lahir ke dunia ini memiliki tabiat berdosa, tidak terkecuali si anak yang baru lahir, ia memiliki kecenderungan dan kesukaan untuk melakukan perbuatan dosa. Meskipun ia masih kecil dan lugu, tetapi bibit dosa itu ada pada dirinya, hanya tinggal menunggu waktunya, ia akan menunjukkan hal itu. Inilah yang perlu disadari setiap orangtua bahwa tidak ada bayi yang tidak memiliki tabiat berdosa. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran dalam mendidik setiap anak dalam keluarga Kristen.
Penulis Kitab Amsal juga memberitahukan secara gamblang bahwa setiap hati anak kecil juga dipenuhi dengan kebodohan. Perhatikan ayat berikut ini, “Kebodohan melekat pada hati orang muda [anak kecil], tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya” (Amsal 22:15). Sekali lagi kata “orang muda” di sini harus diterjemahkan dengan “anak kecil.” Dalam Alkitab bahasa Inggris ditulis demikian, “Foolishness is bound in the heart of a child; but the rod of correction shall drive it far from him” (Proverbs 22:15- KJV).
Ayat di atas memberikan gambaran dasar tentang sifat alami seorang anak yang lahir ke dunia ini, bahwa kebodohan melekat dalam hati seorang anak. Alkitab memberitahukan bahwa sifat alami berdosa yang dimiliki setiap anak merupakan warisan dari Adam yang telah menjadi tabiat alami atau ciri khas manusia. Manusia dengan sendirinya memiliki kesenangan untuk melakukan dosa dan kejahatan. Sifat itu merupakan hal alami dalam dirinya. Ia tidak perlu diajar dan dididik untuk melakukan dosa dan kejahatan karena sifat naluri manusia adalah berbuat dosa. Sebagai akibatnya, manusia cenderung melakukan kebodohan daripada kebijaksanaan.
Dengan menyadari sifat alami seorang anak sebagai orang berdosa, maka orangtua harus selalu diingatkan bahwa anaknya merupakan manusia alami dan bukan manusia rohani. Oleh karena itu orangtua harus menuntun anaknya pada kebenaran dengan mengajar dan memperkenalkannya kepada Tuhan Yesus Kristus sehingga ia percaya dan bertobat serta memiliki iman kepada Kristus. Terkecuali si anak datang kepada Kristus dan memiliki persekutuan pribadi dengan Kristus, maka kebodohan akan selalu melekat dalam hatinya. Tentu untuk mencapai tujuan ini dibutuhkan waktu hingga si anak dapat mengerti dan mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Namun jikalau orangtua setia mendidik dan mengajarkan jalan Tuhan si anak akan percaya pada Kristus pada waktu yang ditentukan Tuhan.
Tujuan Utama Didikan dan Disiplin
Tujuan utama mendisiplinkan anak menurut jalan Tuhan adalah untuk mengajarkan suatu ketaatan dan rasa hormat kepada otoritas tertinggi agar ia tunduk kepada Tuhan. Meskipun orangtua mendidiknya untuk mendengar dan menaati nasihat mereka tetapi tujuan akhir dari semua itu adalah agar si anak memiliki ketaatan dan rasa hormat kepada Tuhan. Orangtua harus selalu menanamkan kepada si anak bahwa mereka mengajar dan mendisiplinkan anak atas perintah Tuhan. Oleh karena itu ketika ia nantinya menaati dan mendengarkan nasihat orangtuanya, ia juga harus menyadari karena ketaatannya kepada perintah Tuhan.
Karena tujuan akhir suatu disiplin dalam keluarga Kristen adalah ketaatan dan rasa hormat kepada Tuhan, maka orangtua harus mengajarkan anak-anaknya bahwa Tuhan itu kudus, pemberi printah yang harus ditaati, dan ketidaktaatan akan mendatangkan hukuman. Semua anak keluarga Kristen harus selalu menanamkan konsep ini agar nantinya si anak benar-benar dipersiapkan untuk mengerti akan karakter Tuhan yang sesugguhnya. Ia akan menyadari bahwa Tuhan membenci dosa dan kejahtan tetapi Tuhan mencintai kebenaran dan kekudusan.
Menghormati Otoritas Orangtua dan Tuhan
Karena orangtua tidak bisa menunjukkan sosok Tuhan yang ada dalam Alkitab yang bisa dilihat oleh mata si anak, maka orangtua harus mengajarkan kepadanya bahwa ada otoritas ilahi yang harus dihormati melalui belajar menghormati otoritas orangtua yang bisa dilihatnya. Setiap anak keluarga Kristen harus diajarkan konsep ini terlebih dahulu karena ia tidak bisa melihat Tuhan dan ia hanya bisa melihat kedua orangtuanya dan orang-orang yang ada di sekitar. Oleh karena hal itu yang perlu dibangun terlebih dahulu dalam hidup seorang anak bahwa orangtua adalah otoritas tertinggi yang harus ia taati sejak dini. Orangtua adalah pemilik kata terakhir dalam setiap hal yang diinginkan. Si anak bukanlah penentu dalam hidupnya. Jangan karena menangis dan rewel, maka ia menjadi penentu dan pengarah orangtua. Itu hal yang keliru dalam mendidik dan mendisiplinkan anak. Orangtua harus memegang kendali dalam segala hal dalam hidup seorang anak. Mungkin banyak pembaca akan berkata, “kasihan, ia menangis terus dan sebagainya” tetapi tanpa disadari prinsip “menangis dan rewel” menjadi senjata ampuh yang akan dimiliki si anak dalam segala hal nantinya untuk meluluhkan hati orangtuanya. Di sinilah titik awal salah didik yang dilakukan orangtua keluarga Kristen.
Mungkin ada yang menyanggah dan berkata bahwa si anak masih kecil dan tidak tahu apa-apa, benarkah ia tidak tahu apa-apa? Tentu jika lapar harus dikasih makan, jika ia haus harus dikasih minum dan jika ia pipis dan sebagainya harus dibereskan, atau jika ia kurang enak badan harus dirawat dan sebagainya. Tetapi di luar dari itu, terutama ketika ia sudah mulai merangkak dan berjalan, ia sudah memiliki keinginan sendiri yang sering bertentangan dengan keinginan orangtuanya. Di sinilah orangtua harus menanamkan suatu konsep otoritas bahwa orangtua adalah pemilik kata terakhir dan bukan si anak.
Apa yang terjadi di masa modern sekarang ini? Kebanyakan orangtua memberikan pilihan pada anak-anaknya untuk menentukan apa yang ia inginkan. Pola seperti itu menjerumuskan si anak. Mungkin ada yang berkata, itu hanya hal sepele. Tetapi lambat laun hal sepele ini akan terbentuk menjadi karakter pembanggang. Ketika si anak masih kecil, orangtualah yang menentukan dan memberitahukan apa yang dibutuhkan si anak dan bukan sebaliknya. Cara ini akan menuntun mereka belajar MENAATI OTORITAS TERTINGGI dalam hidupnya. Kegagalan banyak orangtua disebabkan karena mereka gagal membangun konsep ini dalam hidup anak-anak mereka dan ini sangatlah berbahaya. Seandainya si anak memiliki suatu pilihan, orangtua harus tetap pemegang kata terakhir. Sekalipun si anak harus menangis dan rewel, jangan sekali-kali orangtua menjadi luluh dan kemudian mengiakan apa yang diinginkan si anak. Karena jika hal itu terjadi, si anak tidak akan menghargai otoritas orangtuanya lagi dan juga ia akan selalu memakai senjata menangis dalam setiap apa yang ia inginkan. Di samping itu, orangtua yang tadinya pemegagang kata terakhir tidak lagi berfungsi.
Ketika orangtua membangun suatu pengertian otoritas terhadap anak, orangtua harus dengan yakin memberi perintah yang jelas untuk anak-anaknya bahwa mereka mengerti apa yang dituntut orangtua. Jikalau suatu perintah diberikan maka anak-anak harus melakukakannya dan tidak ada alasan apapun untuk melanggar perintah itu. Jika tidak demikian, maka itu merupakan ketidaktaatan langsung kepada pemegang otoritas tertinggi. Pengajaran pembentukan otoritas dalam keluarga Kristen harus dimulai sejak dini. Janganlah tunggu hingga si anak memulai pendidikan formal di sekolah umum. Itu sudah terlambat, dan sudah sangat susah untuk mendidik dan mendisiplinkanya karena ia akan melawan dan memberontak bahkan bisa menendang orangtuanya sendiri atau orang-orang yang ada di rumahnya. Siapa yang mengajari prilaku seperti ini kepada si anak? Tidak ada yang mengajarnya tetapi itu datang dengan sendirinya karena sifat berdosa yang merupakan warisan dari Adam. Oleh karena itu sebelum hal itu terjadi, mulailah mendidik anak-anak sejak dini, sejak si anak mulai belajar tengkurap dan duduk, disiplin harus ditegakkan agar ia menyadari ada otoritas tertinggi dalam rumah dimana ia tinggal dan hidup yaitu orangtua.
Dengan kata lain, kebodohan yang melekat dalam hati seorang anak harus diredam melalui koreksi dan nasihat dari Firman Allah. Hal inilah yang sering hilang dari banyak keluarga Kristen. Para orangtua mungkin saja memberikan berbagai nasihat kepada anak-anaknya tetapi perkataan mereka tidak memiliki kuasa untuk mengubah hati anak yang melekat dengan kebodohan dan sifat berdosa. Dibutuhkan Firman Allah yang penuh kuasa dan dapat mengubah setiap hati orang berdosa. Jadi bukan semata-mata perkataan orangtua saja. Ketika orangtua mengajarkan dan menyampaikan apa yang dikatakan Firman Allah, Roh Allah akan bekerja dalam hati si anak. Inilah yang harus disadari setiap orangtua.
Sangat di sayangkan bahwa banyak orangtua keluarga Kristen beranggapan bahwa anak-anaknya adalah teman mereka. Dalam tingkat tertentu anak-anak bisa menjadi sahabat orangtua tetapi jangan pernah dijadikan persahabatan jadi segalanya. Tuhan tidak pernah menjadikan orangtua menjadi sehabat anak-anaknya tetapi sebagai orangtua dimana mereka harus berfungsi sebagai orangtua yang mendidik dan menuntun anak-anaknya. Anak-anak harus bisa melihat bahwa orangtuanya adalah pemimpin rohani bagi mereka dan mereka tidak memiliki kesetaraan dalam hal ini setingkat sahabat. Dalam berbagai permasalahan hidup yang dihadapi anak-anaknya orangtua harus menjadi sumber solusi dimana anak-anaknya diarahkan kepada Kristus dan FirmanNya agar mengetahui apa kehendak Allah karena Firman itu adalah kehendak Allah.
Ketaatan Pada Otoritas
Jika seorang anak telah melakukan kesalahan dan dengan sengaja memberontak terhadap perintah yang diberikan orangtuanya, seorang ayah harus menghukumnya. Penulis Kitab Ibrani menyampaikan hal ini dengan memperbandingkan kasih Allah kepada orang yang dikasihiNya, “karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (Ibrani 12:6). Dalam Alkitab bahasa Ingris ditulis demikian, “For whom the Lord loveth he chasteneth, and scourgeth every son whom he receiveth” (Hebrew 12:6 –KJV).
Terlihat jelas bahwa KETAATAN dari seorang anak terhadap orangtuanya merupakan hal mutlak. Paulus sendiri memberitahukan hal ini dengan jelas bahwa seorang anak harus mematuhi orangtuanya.
“1Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. 2Hormatilah ayahmu dan ibumu — ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: 3supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi” (Efesus 6:1).
Kata “taatilah” dalam ayat 1 adalah kata kerja perintah yang terus-menerus harus dilakukan seorang anak terhadap orangtuanya, bukan hanya ketika anak-anak masih kecil tetapi juga ketika mereka sudah dewasa bahkan ketika mereka sudah memiliki keluarga, mereka masih memiliki tanggungjawab untuk menaati orangtuanya. Kenapa harus demikian? Perhatikanlah frasa selanjutnya yaitu “di dalam Tuhan.” Apa maksudnya “taatilah orangtuamu di dalam Tuhan”? Ketika orangtua memerintahkan sesuatu kepada anak-anaknya sesuai dengan ajaran Firman Allah seorang anak harus menaatinya meskipun ia sudah memiliki keluarga. Ini berarti, orangtuanya akan tetap menjadi penasehat rohani bagi setiap anak-anaknya selagi orangtuanya masih hidup. Teladan orangtuanya sebagai pemimpin rohani bagi anak-anaknya semasa kecil terus berlanjut meskipun mereka sudah dewasa. Tentu anak-anak yang sudah dewasa bisa menentukan bagi dirinya apa yang terbaik dalam hidupnya ketika ia bersandar pada Tuhan dan mencari kehendak Tuhan dari Firman Allah. Namun nasihat orangtua yang membesarkannya harus dipertimbangkan jikalau nasihat itu berasal dari Firman Allah.
Namun bagi anak-anak yang masih kecil ketaatan mutlak dituntut dari mereka. Ketika mereka dengan terus-menerus tidak taat pada perintah, itu berarti orangtua pada saat tertentu harus mendisiplinkannya agar ia menjadi seorang anak yang taat. Jika tidak menaatinya maka akan ada akibat ketidaktaatan itu. Jadi setiap saat, ketaatan dituntut dari setiap anak keluarga Kristen karena itu hal yang sangat penting. Ketaatan bukan hanya bermanfaat untuk memelihara aturan dalam hidup seorang anak tetapi juga memiliki implikasi rohani yang sangat penting. Karena ketika seorang anak sudah terbiasa tidak menaati orangtuanya dan mengabaikan segala perintah dan nasihat, besar kemungkinan sianak akan mengadopsi sikap yang sama dalam menaati kehendak Tuhan. Ini sangat berbahaya. Seorang anak tidak bisa berasumsi bahwa ia hanya menaati Tuhan tetapi tidak menaati orangtuanya apalagi jika orangtuanya adalah orang Kristen rohani yang mencintai Kristus dan FirmanNya.
Jadi ketika orangtua terus-menerus menekankan ketaatan kepada anak-anaknya, sesungguhnya orangtua sedang melakukan suatu kebaikan rohani yang besar kepada anak-anaknya. Orangtua sedang melakukan hal yang besar bagi hidup anak-anaknya dalam menaati Tuhan di saat mereka sudah dewasa dan mandiri kelak. Jadi dengan menekankan KETAATAN kepada anak-anak adalah cara mendasar dalam mendisiplinkan seorang anak untuk menundukkan sifat alaminya pada suatu standar yang benar. Tidak diizinkan ada suatu alasan dari seorang anak, seperti, “jikalau . . . dan . . . atau tetapi. . . .” semua kata sanggahan ini tidak dibutuhkan dan tidak bisa ditolerir. Dengan kata lain tidak ada perdebatan tentang menaati perintah yang diberikan orangtua. Jika salah satu anak-anak dihukum karena ketidaktaatannya, orangtua harus memastikan bahwa si anak harus mengerti kenapa ia harus dihukum. Jadi setiap anak harus mengerti bahwa setiap saat ia melanggar peraturan yang ditetapkan orangtua, akan ada pengalaman yang pasti dan yang tidak mengenakkan. Harus diketahui bahwa anak-anak sering berpikir bahwa jikalau mereka menggerutu/rewel lebih lama kepada orangtuanya, orangtua akan melunak dan memberikan apa yang diminta. Oleh karena itu, orangtua harus konsisten menekankan peraturan dalam rumah dan selalu memakai setiap kesempatan untuk mengajar anak-anaknya akan pentingnya ketaatan dan disiplin. Jikalau orangtua tidak konsisten, terkadang peraturan ditegakkan dan terkadang diabaikan maka cara itu tidak akan pernah berhasil. Justru sebaliknya, sikap seperti itu akan mendatangkan bahaya daripada kebaikan.
Saya ingin mengingatkan pembaca tentang sikap orangtua yang sering melunak terhadap ketidaktaatan anak-anaknya. Mungkin pernah mengalami hal yang sama dimana engkau meminta anakmu untuk melakukan sesuatu, tetapi ia menolak untuk melakukannya dan kemudian justru engkau yang mengerjakannya. Misalnya seorang ayah sedang memperhatikan anaknya bermain di halaman rumah. Ketika si anak mengambil kerikil dan melemparkannya ke teras rumah, sang ayah meminta anaknya untuk mengambil kembali. Tetapi ia memandang ayahnya sejenak dan kemudian mengabaikan perintah itu. Akhirnya sang ayah mengambil sendiri batu-batuan itu dan membiarkan anaknya dengan ketidaktaan. Seharusnya sang ayah harus mengambil rotan dan menghukum anaknya saat itu juga karena ia menolak untuk menaati perintahnya dengan demikian si anak mengerti bahwa ada akibat yang timbul jikalau tidak menaati perintah orangtuanya. Jika mengabaikan ketidaktaaan, maka yang terjadi ketaatan itu akan menghasilkan suatu buah dan hasil yang buruk di kemudian hari.
Menghormati Otoritas Selain Oragtua
Di sisi lain sangatlah penting mendidik anak-anak untuk menghormati sosok otoritas selain daripada orangtuanya karena dalam perjalanan kehidupannya di dunia ini, mereka bukan hanya berhadapan dengan orangtuanya tetapi juga orang-orang di sekitar. Oleh karena itu mereka harus menghormati otoritas seperit kakek, guru, pendeta, polisi atau orang-orang dewasa secara umum. Jikalau anak-anak tidak belajar menghormati otoritas manusia, mereka pasti tidak akan menghormati otoritas Tuhan.
Dalam kehidupan Tuhan telah menetap berbagai otoritas di dunia ini dan moralitas saleh berhubungan erat dengan ketaatan dan ketundukan pada otoritas itu. Rasa hormat kepada Tuhan menuntut rasa hormat pada otoritas yang Tuhan telah tetapkan. Ketaatan pada otoritas sangat ditekankan di Perjanjian Baru. Perhatikan beberapa ayat Firman Tuhan di bawah ini.
“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah” (Roma 13:1).
“21Dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus. 22Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Efesus 5:21-22).
“1Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. 2Hormatilah ayahmu dan ibumu — ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: 3supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi” (Efesus 6:1-3).
“12Kami minta kepadamu, saudara-saudara, supaya kamu menghormati mereka yang bekerja keras di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan yang menegor kamu; 13dan supaya kamu sungguh-sungguh menjunjung mereka dalam kasih karena pekerjaan mereka. Hiduplah selalu dalam damai seorang dengan yang lain” (1 Tesalonika 5:12-13).
“1Janganlah engkau keras terhadap orang yang tua, melainkan tegorlah dia sebagai bapa. Tegorlah orang-orang muda sebagai saudaramu, 2perempuan-perempuan tua sebagai ibu dan perempuan-perempuan muda sebagai adikmu dengan penuh kemurnian” (1 Timotius 5:1-2).
“Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar” (1 Timotius 5:17).
“Ingatkanlah mereka supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik” (Titus 3:1).
“Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu” (Ibrani 13:17).
“13Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, 14maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik” (1 Petrus 2:13-14).
“Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!” (1 Petrus 2:17).
“Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya” (1 Petrus 3:1).
Anak-anak perlu diajar melakukan hal-hal yang mempertunjukkan rasa hormat untuk pemegang otoritas. Hal ini berkaitan dengan komunikasi dimana anak-anak harus diajar untuk berbicara dengan rasa hormat kepada orang dewasa. Mereka harus diajar untuk mengatakan, Ya pak, dan Ya bu, kepada orang-orang yang lebih tua sebagai pola edukasi dalam menghormati otoritas. Dengan kata lain, anak-anak perlu diajar memberi jawaban yang pantas kepada orang yang lebih tua ketika mereka disapa. Banyak anak-anak memang pemalu, itu benar, tetapi mereka juga harus diajar keluar dari keadaan yang menyenangkan bagi mereka dan menunjukkan rasa hormat kepada otoritas. Mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja mengikuti kebiasaannya.
Hal lain yang perlu diajar kepada anak-anak adalah bahwa mereka perlu diajar untuk tidak mengganggu atau menyela orang dewasa ketika sedang berbicara. Ini hal penting dalam pembentukan kebiasaan berbicara. Mereka juga perlu diajar untuk menyapa orang dewasa ketika datang menedekati mereka. Mereka tidak bisa mengabaikan kehadiran orang dewasa ketika sudah ada di hadapan mereka. Mereka tidak bisa melanjutkan apa yang sedang mereka kerjakan, jika hal itu dilakukan itu merupakan tindakan tidak terhormat. Hal ini sangat penting terutama jika orang itu adalah orang yang sangat dihormati seperti orangtua, kakek, guru atau pendeta. Anak-anak harus diajar untuk selalu menaati orang yang lebih tua karena kecenderungan mereka selalu tidak mau mendengarkan nasihat atau perkataan orang yang lebih dewasa, tetapi Tuhan menempatkan kita pada suatu aturan dimana kita lahir dalam keluarga dengan suatu desain dan tujuan. Oleh karena itu setiap anak harus menyadarinya. Apa yang saya sebutkan di atas tidak akan datang dengan sendirinya kepada anak-anak tetapi harus diajar dan diingatkan karena mereka memiliki hati yang cenderung berbuat dosa, egois, tidak taat dan tidak memiliki rasa hormat. Jadi mengajarkan ketaatan dan rasa hormat pada otoritas kepada seorang anak merupakan bagian yang sangat penting dalam mendisiplinkan anak.
Firman Allah Berkuasa Menguduskan dan Membangun
Setiap orangtua keluarga Kristen harus memiliki pengertian dasar bahwa Firman Allah memiliki kuasa dalam menguduskan dan membangun tiap-tiap orang untuk bertumbuh di dalam Kristus. Firman Allah memberikan keyakinan, penerangan, kekuatan rohani, iman, hikmat, dan pertobatan. Manusia tidak memiliki kuasa untuk mengubah orang lain. Orangtua tidak memiliki kemampuan dan kuasa untuk mengubah anak-anaknya. Oleh karena itu para orangtua jangan pernah beranggapan bahwa mereka berkuasa mengubah pikiran dan karakter anak-anaknya. Terkecuali Tuhan dan FirmanNya bekerja maka sia-sialah segala usaha orangtua. Cobalah pertimbangkan Firman Allah di bawah ini:
“Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung” (Yosua 1:8).
“1Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, 2tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. 3Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil” (Mazmur 1:1-3).
“Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu” (Mazmur 119:9).
“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mazmur 119:105).
“Dan sekarang aku menyerahkan kamu kepada Tuhan dan kepada firman kasih karunia-Nya, yang berkuasa membangun kamu dan menganugerahkan kepada kamu bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan-Nya” (Kisah 20:32).
“Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Roma 10:17).
“15Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. 16Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. 17Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2 Timotius 3:15-17).
“Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita” (Ibrani 4:12).
“Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan” (1 Petrus 2:2).
“Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu” (2 Petrus 1:19).
Orangtua yang berhikmat akan memenuhi rumahnya dengan Firman Tuhan dan mengajarkannya kepada anak-anaknya, menghafal ayat-ayat Firman Tuhan dan mendiskusikannya dalam setiap kesempatan. Inilah fondasi penting dalam setiap keluarga Kristen. Orangtua memiliki tanggungjawab untuk membangun iman dan pengetahuan anak-anaknya tentang Tuhan dan FirmanNya. Alkitab dengan jelas menekankan hal itu dan Alkitab tidak pernah mengajarkan program-program gereja seperti Sekolah Minggu, Persekutuan Remaja, Persekutuan Pemuda, Persektuan dewasa dan lain sebagainya sebagai tumpuan keluarga dalam membangun kerohanian anak-anak keluarga Kristen. Jika orangtua tidak memperdulikan dan memberikan waktu yang berkualitas untuk mendidik dan mengajar anak-anak akan Firman Tuhan, maka gereja tidak bisa menggantikan peran orangtua. Sehebat apapun program gereja, gereja tidak bisa menggantikan orangtua dalam pembentukan karakter anak-anak keluarga Kristen.
Seorang anak dari keluarga Kristen yang menempuh pendidikan di Sekolah Kristen dengan mengikuti kurikulum yang baik, datang ke Sekolah Minggu dengan rajin dan mengikuti berbagai kegiatan gereja, tetapi bisa saja ia tetap menjadi seorang anak duniawi, melawan dan memberontak kepada orangtuanya. Mereka hanyalah orang-orang Kristen yang suam-suam kuku dan tidak memiliki keyakinan rohani di dalam hatinya.
Apa penyebab hal ini terjadi? Mereka tidak dididik orangtuanya sebagai orang Kristen yang bersandar pada Firman Allah setiap harinya. Firman Tuhan tidak menjadi santapan sehari-hari di dalam rumahnya. Hal itu akan semakin kelihatan ketika anak-anak ini semakin dewasa. Mereka menjadi orang-orang duniawi yang tidak perduli soal kerohanian dan kekristenan. Tetapi jika setiap hari Firman Allah yang menjadi santapan sehari-hari sejak masa kecilnya, mendiskusikan, dan menghafal Firman Tuhan, hal ini akan membuat perbedaan luar biasa. Itulah sebabnya Tuhan berkata kepada Yosua, “Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung” (Yosua 1:8).
Jika seorang anak atau dewasa setiap harinya dikelilingi Firman Tuhan, akan membawa dampak luar bisa dalam hati dan pikirannya. Inilah yang ditekankan pemazmur ketika ia berakta, “Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau” (Mazmur 119:11). Penekanan di sini bukan semata-mata menghafalkan ayat-ayat Firman Allah yang selalu memenuhi pikirannya tetapi Firman Allah yang ia pelajari dan ketahui masuk ke dalam hati dan menuntunnya dalam hidup.
Oleh karena itu setiap keluarga Kristen jangan pernah mengabaikan tanggunjawab dalam membangun anggota keluarganya dengan Firman Allah. Mereka harus secara teratur dan konsisten menyembah Allah dan mempelajari Firman Allah dalam keluarga. Waktu berharga sedemikian dipakai untuk membaca, menghafal dan merenungkan Firman Allah serta mendiskusikannya dengan setiap anggota keluarga, ayah, ibu, dan anak-anak. Dengan cara inilah orangtua menuntun anak-anaknya di dalam Tuhan. Apa didapatkan anak-anaknya dari gereja akan melengkapi apa yang sudah mereka dapatkan dalam keluarga ketika sang ayah sungguh-sungguh berperan sebagai kepala rumah tangga dan pemimpin rohani bagi isteri dan anak-anaknya.
Sang ayah akan menolong anak-anaknya dalam berbagai pertanyaan yang tidak diketahui anak-anaknya seperti khotbah atau pelajaran di sekolah minggu yang tidak diketahui atau sulit dipahami. Sang pemimpin rohani dalam keluarga berperan mendidik dan membimbing anak-anaknya dengan pengertian yang benar. Bisa didiskusikan saat sarapan, makan siang, makan malam atau saat santai dan saat perenungan Firman Allah bersama-sama dalam kebaktian keluarga. Tiap-tiap anggota keluarga memiliki peran dalam setiap kegiatan rohani ini, ada yang membaca, memilih lagu pujian yang akan dinyanyikan, memimpin doa dan sebagainya. Inilah masa-masa training bagi anak-anak keluarga Kristen untuk bisa berdoa dan berani memberi pendapat dalam suatu diskusi.
Menghafal ayat-ayat Alkitab sangat penting dan tiap-tiap anggota keluarga harus berusaha menghafal ayat-ayat yang sangat relevan dengan situasi dan kebutuhan keluarga tertama yang mengarahkan setiap orang pada iman dan kehadiran Tuhan di setiap waktu. Hal ini akan memberi pemahaman bagi anak-anak bahwa apapun yang terjadi, dalam keadaan baik dan buruk, Tuhan tidak pernah meninggal anak-anakNya. Ada cobaan dan tantangan yang harus dihadapi agar umat Tuhan semakin kuat dan semakin bersandar pada Tuhan.
Ketika seorang anak sudah bisa membaca dan menganalisa suatu kalimat, orangtua harus mentraining dan mendisiplinkan anak-anaknya untuk memiliki renungan pribadi. Mereka harus memiliki waktu khusus dimana mereka membaca Alkitab, berdoa, dan merenungkan ayat-ayat tertentu dalam Alkitab. Untuk memulai kebiasaan rohani seperti ini memang agak, tetapi orangtua harus mulai mengajari, membantu dan memandu mereka dalam hal apa yang harus dilakukan ketika melakukan perenungan Firman Tuhan dan bagaimana mengaplikasikannya. Ketika tiba perenungan Firman Allah bersama-sama sebagai satu keluarga, orangtua bisa juga mengangkat atau menayakan isu-isu yang anak-anaknya hadapi dalam perenungan pribadi. Atau mendiskusikan ayat-ayat yang dibaca dan direnungkan jika diperlukan. Timotius sepertinya sudah sejak kecil merenungkan Firman Tuhan. Tentu atas bantuan orangtua dan neneknya. Itulah disampaikan Paulus ketika ia menuliskan suratnya kepada Timotius bahwa sejak mudanya ia sudah mengetahui Firman Allah, “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (2 Timotius 3:15).
Semua pembacaan dan perenungan Firman Allah tidak akan pernah terbuang sia-sia karena Firman itu memiliki kuasa dan akan masuk ke dalam hatinya dan akan menuntunnya dalam hidup. Dengan melakukan semua ini, orangtua akan melihat perubahan yang luar baisa dalam diri anak-anaknya dan mereka akan berkata bahwa mereka sungguh-sungguh percaya pada Yesus Kristus. Orangtua yang melakukan kegiatan rohani sedemikian akan menjadi orangtua yang berbahagia karena mereka mengetahui kerohanian anak-anaknya. Mereka akan berbeda dari banyak orangtua keluarga Kristen sekarang ini dimana ada banyak orangtua keluarga Kristen tidak mengetahui kerohanian anak-anak bahkan mereka tidak mengetahui apakah mereka sudah percaya pada Kristus atau belum. Kegagalan keluarga seperti terjadi karena karena mereka sendiri tidak pernah membimbing anak-anaknya di dalam Tuhan dan kegiatan kerohanian.
Sangatlah disayangkan, ada banyak orangtua keluarga Kristen sudah mengira melakukan tanggungjawabnya sebagai orangtua karena sudah membawa anak-anaknya menghadiri Sekolah Minggu. Mereka mengira tugas dan tanggungjawabnya sudah selesai. Mereka lupa bahwa mereka sudah berjanji di hadapan Tuhan untuk mendidik dan mengajar anak-anaknya di dalam Tuhan. Jika hanya mempercayakan anak-anaknya pada program gereja dan sekolah minggu, lihatlah apa yang terjadi dengan anak-anak keluarga Kristen sekarang ini. Lebih dari separoh dari mereka meninggalkan gereja ketika mereka menginjak usia remaja. Mereka melawan dan memberontak terhadap orangtua dan tidak memperdulikan hal-hal rohani. Orangtua merasa putus asa dan habis akal dalam mendidik anak-anaknya. Sebagai akibatnya mereka membiarkan anak-anaknya untuk melakukan apa yang mereka inginkan.
Saya pernah mendengar satu keluarga Kristen yang mengabaikan hal-hal kerohanian dalam keluarga. Sepintas keluarga itu terlihat sama seperti keluarga Kristen lainnya yang menghadiri ibadah dan kegiatan gereja jikalau memiliki waktu. Suami dan isteri mencoba melibatkan diri untuk kegiatan gereja tetapi anak-anak mereka yang suah megijak usia remaja sering ditinggal di rumah di saat ibadah berlangsung. Kadangkala anak laki-lakinya mencul dalam ibadah gereja ketika gereja memiliki program khusus. Keluarga ini tidak memperdulikan kerohanian anak-anaknya dan orangtua membiarkan begitu saja sikap dan prilaku anak-anaknya. Suatu ketika mereka mendengar rumor di luar dari teman-teman anaknya bahwa anaknya sudah menjadi pengikut agama lain yang berbeda dengan orangtuanya. Anaknya bukan pindah gereja ke gereja lain tetapi pindah agama, padahal anak tersebut masih berada dalam naungan dan tanggangjawab orangtuanya. Ia masih menempuh pendidikan. Bukankah hal ini sagnat menyedihkan! Ketika orangtua tidak mengajar anak-anaknya maka anak-anaknya akan menerima pengajaran dari orang lain di luar sana. Oleh karena itu keluarga Kristen harus berhati-hati dan berjaga-jaga.
Jikalau kejadian seperti itu terjadi pada suatu keluarga Kristen, ingatlah selalu bahwa hal yang sama bisa terjadi pada keluargamu. Iblis ingin menghancurkan keluargamu menjadi keluarga yang tidak mengenal Kristus dan FirmanNya. Iblis akan berusaha dan mencari kesempatan untuk memporak-porandakan keluargamu. Terkecuali engkau berwaspada selalu maka engkau dan keluargamu akan menjadi korban Iblis berikutnya.
Para suami bertanggungjawab untuk mendidik anak-anaknya dalam rumahnya. Para suami jangan pernah berpikir, “Jika saya mendapatkan banyak uang, isteri dan anak-anak saya akan bahagia dan bisa mendapatkan apa yang mereka mau.” Itu pemikiran keliru dan sesat. Suami memang harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan isteri dan anak-anaknya tetapi bukan hanya itu tanggungjawab suami. Ia harus hadir di dalam rumahnya sebagai pemimpin, pemberi arahan, pengambil keputusan dalam keluarga dan pendidik bagi anak-anaknya. Di situlah wibawa suami sebagai kepala rumah tangga dan bukan pada uang yang dibawanya ke rumah.
Suatu keluarga Kristen bisa saja serba berkekurangan dalam berbagai hal tetapi keluarga itu menjadi keluarga yang bahagia dan harmonis karena suami berperan sebagai kepala keluarga dan pemimpin rohani dalam keluarga. Ia memimpin anak-anaknya untuk bersandar kepada Tuhan dalam segala hal. Ia mendidik anaka-anaknya untuk berdoa dan beriman kepada Kristus, pemberi segala berkat. Dalam keadaan sulit dan kekurangan, anak-anaknya dituntun untuk berseru kepada Tuhan dalam iman dan pengharapan. Kristus dimuliakan dan ditinggikan dalam keluarga itu.
Oleh karena itu keluaga Kristen yang ingin anak-anaknya hidup dengan benar sesuai dengan Firman Allah dan percaya pada Yesus Kristus, mulailah memikirkan kegiatan rohani dalam rumah tangga masing-masing dimana sang ayah berperan sebagai pemimpin rohani.
- Lakukanlah kegiatan pembacaan dan perenungan Firman Allah bersama anak-anaknya sedini mungkin
- Buatlah perencanaan pembacaan Alkitab
- Sediakan hal-hal yang bisa membantu anak-anakmu dalam mengerti Alkitab
- Tekankan peraturan untuk ditaati dan jangan berkompromi
- Tiap-tiap orang harus melakukannya karena itu hal yang benar