MENGURUS HARTA KEKAYAAN
Oleh Samson H
17Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. 18Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi 19dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya” (1 Timotius 6:17-19).
Bagaimana seseorang mengurusi harta dan kekayaannya akan mempertunjukkan karakter dan kualitas imannya di dalam Kristus. Sikap dan prilaku seseorang terhadap uang akan membuktikan seberapa besar dedikasinya terhadap kerohanian dan iman. Tanpa memperdulikan status seseorang dalam masyarakat dan gereja, hal mengurusi uang dan kekayaan akan mendemonstrasikan fakta iman sesungguhnya. Dituntut suatu cara pendekatan saleh dan rohani dalam mengurusi uang dan kekayaan yang dipercayakan Tuhan kepada seorang percaya, bukan melalui keserakahan dan bukan juga dengan pola hidup mengembara jauh dari keramaian dan hiruk pikuk perkotaan tetapi dengan menyadari bahwa ia adalah pengurus kekayaannya untuk dipergunakan bagi kebajikan, kebenaran dan kemuliaan bagi Tuhan.
Paulus mengingatkan Timotius yang sedang menggembalakan jemaat Efesus agar memperingatkan orang-orang kaya di dunia ini secara khusus jemaat Efesus. Peringatan ini berlaku bagi semua mereka yang ada di gereja dan mengklaim diri sebagai pengikut Kristus. Peringatan ini tidak ditujukan kepada orang banyak di luar gereja tetapi para pengikut Kristus yaitu jemaatNya. Ini adalah tugas penting yang harus dilakukan Timotius agar jemaat tidak terlena dengan kekayaan dan harta duniawi. Ini juga tugas dari setiap gembala jemaat Kristus di berbagai belahan dunia di sepanjang masa.
Harus diakui bahwa ini merupakan peringatan keras dan yang tidak mudah diterima banyak orang sekalipun mereka mengklaim diri sebagai pengikut Kristus. Tetapi inilah perintah yang dicatat dalam Firman Tuhan untuk diketahui dan diajarkan. Karena jika harta dan kekayaan menguasai hati dan pemikiran orang percaya, maka ibadah mereka tidak akan berkenan kepada Tuhan karena hati dan pikiran mereka akan selalu tertuju pada harta dan kekayaan sekalipun mereka hadir beribadah di rumah Tuhan. Pikiran mereka melayang-layang memikiran untung dan rugi suatu usaha dan bisnis yang geluti. Mereka ingin secepat mungkin meninggalkan ruang ibadah. Mereka gelisah jikalau hamba Tuhan memberitakan Firman Tuhan lebih lama dari biasanya. Inilah inidikasi hati ang sudah jauh dari Tuhan.
Tuhan Yesus dalam khotbahNya memperingatkan umat Yahudi demikian, “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Matius 6:21). Hal seperti ini tidak akan terjadi jikalau seorang kaya menyadari apa yang dimiliki datang dari Tuhan dan keseluruhannya direlakan untuk dipakai bagi kemuliaan Tuhan. Itulah sebabnya penulis Amsal berkata, “Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu, maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya” (Amsal 3:9-10).
Kata “peringatkanlah” dalam 1 Timotius 6:17 ditulis dalam bentuk kata perintah atau imperatif dalam bahasa Yunani yang memberi suatu penekanan bahwa ada suatu usaha sengaja untuk memperingatkan jemaat kaya tentang bagaimana harus mengurusi kekayaan mereka. Peringatan ini harus dilakukan berulang-ulang secara aktif karena ada bahaya yang menanti orang-orang kaya jika tidak mengurus harta kekayaannya dengan benar sesuai dengan kehendak Tuhan.
Orang yang tidak merasa kaya sering kali mengabaikan nasihat ini dengan berdalih mereka bukanlah kelompok orang yang dimaksudkan dalam ayat-ayat ini. Anggapan seperti itu sangat keliru karena kayaaan di sini bukan semata-mata memiliki harta yang berlimpah tetapi lebih pada apa yang dimiliki seseorang melebihi dari apa yang dibutuhkan sehari-hari. Tidak ada dasar tolok ukur suatu indikasi seseorang sudah menjadi kaya. Alkitab tidak pernah memberi kreteria atau syarat-syarat menjadi seorang kaya. Namun julukan sebagai orang kaya sering ditemukan dalam Firman Tuhan.
Jika memperhatikan doa yang diajarkan Tuhan Yesus kepada murid-muridNya terdapat suatu kalimat permohonan kepada Tuhan tentang kebutuhan sehari-hari. Bagian dari doa itu berbunyi demikian, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Matius 6:11) dan Lukas menuliskan, “Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya” (Lukas 11:3). Yang menjadi inti dari kedua ayat ini adalah Tuhan Yesus mengajarkan murid-muridNya untuk berdoa dan memohon kebutuhan mereka sehari-hari. Keyataannya banyak orang Kristen telah diberkati Tuhan bukan hanya kebutuhan sehari-hari, tetapi memiliki cadangan makanan dan uang untuk memenuhi kebutuhan mereka selama dua bulan, tiga bulan, enam bulan dan bahkan ada banyak orang Kristen yang memiliki kecukupan untuk memenuhi kebutuhannya selama bertahun-tahun.
Jika Tuhan memberi dan memberkati umatNya melebihi kebutuhan sehari-hari, sudah tentu orang seperti itu termasuk sebagai orang kaya. Tuhan sudah menyediakan kebutuhan sehari-hari dan saatnya tiba agar umat percaya memuliakan Tuhan dengan harta dan kekayaannya. Oleh karena itu, jika memperhatikan doa yang diajarkan Tuhan Yesus di atas tentang kebutuhan sehari-hari, bisa disimpulkan bahwa mereka yang tidak mendapatkan kebutuhan sehari-harilah yang bisa dikategorikan sebagai orang miskin atau orang-orang yang tidak berkecukupan.
Paulus harus mengingatkan Timotius agar senantiasa juga memperingatkan orang-orang kaya dalam gereja. Orang kaya sangat mudah mengatakan bahwa apa yang dimilikinya adalah berkat dari Tuhan, tetapi dalam saat yang sama ia tidak memuliakan Tuhan dengan berkat yang sudah diterima. Bahkan lebih dari itu, ia menjadi sangat rakus dan ingin menumpuk kekayaan yang semakin besar. Untuk mencapai hal itu, ia mengorban keluarga, kerohanian, gereja dan persekutuan dengan Tuhan dan umatNya. Pikiriannya dipenuhi dengan “bayang-bayang” uang dan harta. Jadi peringatan ini menegaskan adanya bahaya besar yang mengintai setiap orang Kristen yang memiliki kekayaan. Namun hal yang perlu diperhatikan, bahaya ini bukan hanya bagi mereka yang memiliki harta kekayaan yang berlimpah-limpah tetapi juga bagi mereka yang memiliki kekayaan melebihi apa yang dibutuhkan sehari-hari: memiliki rumah tempat tinggal, makanan sehari-hari, pakaian dan kebutuhan lainnya.
Dalam Markus 10:17-21 dicatat suatu kisah nyata dimana seorang pemuda kaya dan pemimpin agama datang kepada Tuhan Yesus Kristus. Ia datang berlari-lari menghampiri Yesus dan kemudian berlutut di hadapan Yesus. Ia tidak memperdulikan orang banyak yang hadir pada saat itu, entah mereka merupakan umat yang ia ajar di sinagoge atau orang-orang yang sudah mengenalnya. Ia datang dengan satu tekad yaitu ingin mengetahui apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup kekal. Lalu Yesus memberitahukan hal penting yang harus dilakukan, “Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Markus 10:21).
Ayat ini tidak mengajarkan, agar seseorang bisa memperoleh hidup kekal ia harus terlebih dahulu menjadi miskin, dengan menjual semua yang milikinya. Yesus meminta orang itu untuk melakukan apa yang diperintahkan karena Yesus tahu bahwa hatinya terikat pada hartanya. Itulah yang membelenggunya sehingga tidak bisa hidup benar di hadapan Tuhan. Maka Markus menuliskan kesimpulan penting di ayat 22 dan 23 demikian, “22Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya. 23Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya di sekeliling-Nya dan berkata kepada mereka: “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Markus 10:21-22).
Satu hal yang perlu disadari bahwa apa yang dikatakan Yesus dalam ayat 23 sungguh nyata di masa moderen sekarang ini. Orang-orang kaya seakan tidak memiliki waktu untuk berdoa, bersekutu dan beribadah kepada Tuhan. Bahkan banyak orang kaya seakan tidak memiliki waktu untuk Tuhan. Mereka hanya ingin mendapatkan berkat dari Tuhan tetapi tidak ingin menyediakan waktu untuk Tuhan melalui pendengaran dan pengajaran Firman Tuhan. Sungguh kakayaan bisa menjadi penghalang seseorang untuk bisa mengenal Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.
Namun ada juga orang kaya yang sungguh mempersembahkan apa yang dimiliki untuk kemuliaan Tuhan. Zakheus adalah seorang kaya tetapi ketika Tuhan bekerja dalam hatinya dan mempercayai Tuhan Yesus, ada perubahan luar biasa yang terjadi bahwa ia tidak melihat uang lagi sebagai yang paling utama dalam hidup. Bahkan ia rela untuk membagi-bagikan apa yang dimiliki kepada orang-orang miskipun. “Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat” (Lukas 19:8). Tuhan Yesus tidak memerintahkannya untuk melakukan itu, tetapi itu merupakan keinginan pribadi karena sukacita dan hidup kekal yang dimilikinya. Kenapa Yesus tidak memintanya untuk menjual apa yang dimiliki? Karena Yesus sudah mengetahui isi hati Zakheus bahwa harta bukanlah yang terpenting lagi baginya. Sebagai seorang yang baru percaya kepada Yesus, ia mempertunjukkan suatu perubahan luar biasa dalam hidup. Itulah pekerjaan Roh Kudus.
Dua orang yang dibicarakan di atas merupakan orang-orang yang sudah menjadi kaya sebelum bertemu dengan Kristus. Ada dua reaksi berbeda yang terjadi di antara mereka setelah mendengarkan pengajaran Yesus. Orang kaya muda itu meninggalkan Tuhan Yesus karena tidak rela menjual harta bendanya sebagaimana diminta Tuhan Yesus. Sementara Zakheus merasakan sukacita yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan meresponnya dengan membagi-bagikan kekayaannya kepada orang miskin.
Bagi umat Kristen di dalam gereja, nasihat penulis Amsal harus menjadi pertimbangan dan perlu direnungkan. Harta dan kekayaan bukanlah segala-galanya yang dibutuhkan dalam hidup ini tetapi Tuhan yang memberikan hidup kekal. Oleh karena itu berdoalah seperti yang didoakan penulis Amsal demikian, “7Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kautolak sebelum aku mati, yakni: 8Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. 9Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku” (Amsal 30:7-9).
Sudah tentu ada banyak orang yang tidak ingin berdoa sedemikian karena keinginan besar untuk menjadi sangat kaya agar bisa menyombongkan diri di hadapan para koleganya. Tetapi bagi orang Kristen, adakah pilihan selain dari apa yang dicatat di atas? Jika meminta lebih dari itu, maka bahaya mengintai karena tujuannya untuk menjadi kaya bukan untuk memuliakan Tuhan tetapi untuk kemuliaan diri sendiri.
Orang Kristen tidak diharapkan memiliki pemikiran yang mencintai harta dan uang tetapi mereka akan senantiasa diperhadapkan dengan sikap dan prilaku demikian. Itulah sebabnya Paulus mengingatkan Timotius agar tidak lalai untuk memperingatkan orang-orang kaya dalam gereja Efesus. Dengan tegas Paulus memberitahukan bahwa ada bahaya yang sedang mengintai orang-orang kaya di dalam gereja. Terkecuali mereka hati-hati dalam mengurusi harta kekayaan yang dipercayakan Tuhan maka mereka akan membuktikan diri sebagai orang-orang yang tidak percaya kepada Yesus.
BAHAYA KEKAYAAN BAGI ORANG PERCAYA
Paulus memberitahukan dua hal yang menjadi bahaya bagi orang-orang kaya di dalam gereja, pertama, mereka akan menjadi tinggi hati atau menyombongkan diri dengan harta kekayaan yang dimiliki. Kedua, mereka akan berharap pada sesuatu yang tidak pasti. “Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (1 Timotius 6:17).
Uang dan harta bukanlah suatu jaminan kekal karena semua itu bisa hilang dalam sekejap mata. Tidak ada yang abadi dalam uang dan harta. Kisah Ayub sebagai orang kayu bisa menjadi pertimbangan orang-orang percaya. Firman Tuhan dengan tegas memberitahukan bahwa Ayub adalah seorang yang benar di hadapan Tuhan, “Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan” (Ayub 1:1). Jika Ayub dikenal sebagia orang saleh, jujur, takut kepada Tuhan dan menjauhi kejahatan, namun masih menghadapi suatu tragedi luarbiasa dalam hidupnya, bagaimana dengan orang kaya yang tidak saleh, tidak jujur dan tidak takut kepada Tuhan? Hukuman dan penghakiman dari Tuhan sedang menanti mereka. Oleh karena itu orang-orang kaya harus diperingatkan tentang bahaya kekayaan. Ini adalah tugas para pelayan Tuhan di gereja.
Jangan Tinggi Hati
Sudah menjadi kebiasan alami sejak masa dulu hingga sekarang, bahwa orang kaya mengganggap diri sebagai kasta tertinggi dan merendahkan orang-orang miskin. Kisah Lazarus dan orang kaya yang dicatat dalam Lukas 19:20-31 memberi gambaran bagaimana orang kaya memperlakukan orang miskin di sekitarnya. Lazarus sebagai manusia berdampingan sejajar dengan anjing di mata orang kaya dalam mendapatkan makanan dan kebutuhan sehari-hari. Orang kaya itu tidak melihat ada perbedaan antara Lazarus dengan anjing-anjing yang berkerumun di sekitar rumahnya. Hal sedemikian masih terus berlangsung sekarang ini di berbagai belahan dunia. Rasa iba dan belas kasihan untuk sesama manusia sudah hilang dari sanubari orang-orang kaya.
Kecondongan orang kaya untuk menjadi sombong dan meninggikan hati sudah tidak diragukan lagi. Harta dan kekayaan yang dimiliki membuat dirinya menjadi orang yang pantas dihormati dan dijunjung tinggi. Ia mengharapkan penghormatan dan respek dari orang-orang yang mengharapkan bantuan dan uluran tangannya. Bahkan sering kali ketika uluran tangan diberikan kepada orang-orang miskin, orang kaya sering menyelipkan benang merah dimana orang-orang yang mendapatkan pertolongannya harus tunduk pada perintah dan kemauannya. Orang-orang kaya jahat akan memperalat dan memperdaya orang-orang miskin. Pemazmur menuliskan demikian, “Karena congkak orang fasik giat memburu orang yang tertindas; mereka terjebak dalam tipu daya yang mereka rancangkan” (Mazmur 10:2). Firman Tuhan dalam Amsal mengatakan bahwa, “Siapa menindas orang yang lemah (poor), menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia” (Amsal 14:31). Ia juga mengatakan, “Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah (poor), memiutangi TUHAN, yang akan membalas perbuatannya itu” (Amsal 19:17).
Oleh karena kecenderungan hati orang-orang kaya menjadi sombong dan merendahkan orang lain, maka Paulus mengingatkan Timotius agar ia tidak segan-segan untuk memperingatkan orang-orang kaya di gereja Efesus. Sikap dan prilaku yang dimiliki orang kaya sebelum mengenal Kristus tidak bisa ditolerir dan harus berubah sebagai bukti bahwa Roh Kudus telah mengubah dan memperbaharui hatinya menjadi baru serta hidup berkenan kepada Tuhan. Tidak ada alasan yang bisa ditolerir dari orang kaya untuk tetap menyombongkan diri oleh karena harta dan kekayaan. Jika masih ada yang melihat perbedaan sosial dan ekonomi menjadi dasar untuk merendahkan orang-orang miskin, ia harus bertobat dan meninggalkan jalan kefasikan tersebut karena ia tidak hidup berkenan kepada Tuhan.
Dalam surat Paulus kepada Filemon, ia dengan tegas memerintahkan Filemon yang adalah seorang kaya untuk menerima kembali Onesimus yang sebelumnya telah melakukan kesalahan (kemungkinan melakukan pencurian dari rumah Filemon) dan kemudian melarikan diri. Namun dengan providensi Tuhan, Paulus dipertemukan dengan Onesimus di penjara Roma. Menyadari kesalahan yang diperbuat Onesimus ketika sebelum percaya kepada Kristus, namun atas anugerah Tuhan ia menjadi seorang percaya melalui pelayanan Paulus, ia ingin dikembalikan kepada tuannya, Filemon. Paulus menginginkan Onesimus untuk kembali kepada tuannya dan hidup berdampingan sebagai hamba dan tuan dalam kaitannya dengan pekerjaan tetapi sebagai saudara dalam kaitannya dengan iman di dalam Kristus. Maka Paulus mengingatkannya demikian,
8Karena itu, sekalipun di dalam Kristus aku mempunyai kebebasan penuh untuk memerintahkan kepadamu apa yang harus engkau lakukan, 9tetapi mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintanya dari padamu. Aku, Paulus, yang sudah menjadi tua, lagipula sekarang dipenjarakan karena Kristus Yesus, 10mengajukan permintaan kepadamu mengenai anakku yang kudapat selagi aku dalam penjara, yakni Onesimus 11— dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku. 12Dia kusuruh kembali kepadamu — dia, yaitu buah hatiku — 13Sebenarnya aku mau menahan dia di sini sebagai gantimu untuk melayani aku selama aku dipenjarakan karena Injil, 14tetapi tanpa persetujuanmu, aku tidak mau berbuat sesuatu, supaya yang baik itu jangan engkau lakukan seolah-olah dengan paksa, melainkan dengan sukarela. 15Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, 16bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan (Filemon 1:8-16).
Hubungan antara Filemon dan Onesimus sebelumnya adalah hubungan antara bos dengan hamba (milik pusaka tuannya) dan juga hubungan antara orang kaya dan orang miskin atau orang lemah. Tidak diragukan bahwa Filemon adalah orang kaya yang membuka rumahnya untuk menjadi tempat ibadah di daerah Kolose yang mana pada saat itu Onesimus berperan sebagai hamba. Entah apa yang sesungguhnya terjadi yang membuat Onesimus melarikan diri dari rumah Filemon, apakah karena sikap tuannya atau karena kesalahan yang dilakukan sendiri. Namun dengan perintah dari Paulus, Filemon diminta untuk berubah sikap terhadap hambanya, dan tidak hanya melihatnya sebagai hamba tetapi juga sebagai suadara di dalam Kristus. Ia harus bisa melihat bahwa ia dan hambanya memiliki kesetaraan di dalam Kristus karena iman di dalam Kristus. Meskipun dalam hal pekerjaan dan status ekonomi sehari-hari mereka tetap ada perbedaan antara bos dan hamba, namun sikap harus berubah sebagai orang yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus. Filemon tidak bisa lagi bersikap sembarangan seperti sebelumnya tetapi harus mempertunjukkan bahwa ia adalah bos yang patut diteladani Onesimus di dalam iman dan perbuatan baik.
Oleh karena itu Paulus mengetahui dengan pasti bagaimana sikap orang-orang kaya yang suka menyombongkan diri terhadap mereka yang miskin. Kuasa uang dan harta begitu luar biasa, bukan hanya dalam dunia sekuler tetapi juga bisa terjadi dalam gereja jika tidak berhati-hati. Para hamba-hamba Tuhan harus waspada terhadap pengaruh dan kuasa uang dan harta. Jika ada orang-orang kaya yang memberi persembahan atau ucapan syukur kepada Tuhan harus diterima sebagai persembahan untuk Tuhan dan bukan semata-mata untuk mempengaruhi pemikiran dan penilaian seorang hamba Tuhan terhadap sikap dan prilaku orang-orang kaya yang memberi persembahan itu. Dengan kata lain, sekalipun seorang kaya memberi persembahan miliaran rupiah ke gereja, hal itu tidak akan mempengaruhi penilaian dan tindakan disiplin gereja di saat orang itu melakukan kekejian dan kejahatan. Uang yang diberikan ke gereja harus diartikan sebagai pemberian kepada Tuhan dan bukan sogokan bagi pemimpin gereja untuk menutup mulut atas dosa-dosa dan kesalahan yang dilakukan. Untuk itulah Paulus mengingatkan Timotius agar ia juga memperingatkan orang-orang kaya di dalam gereja.
Terkecuali orang-orang kaya mengetahui bahaya yang senantiasa menanti dan merusak kerohaniannya oleh karena harta dan kekayaan yang dimiliki maka mereka suatu ketika akan terjerumus masuk ke dalam lobang dosa. Timotius sebagai gembala jemaat harus mengajarkan jemaat bagaimana bersikap dan bertingkah laku yang benar ketika memiliki harta dan kekayaan. Mereka harus bisa memuliakan Tuhan melalui harta dan kekayaan yang dimiliki dan bukan mencari hormat dan kemuliaan atas apa yang dimiliki. “Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu” (Amsal 3:9).
Untuk menghindari bahaya besar yang merusak kerohanian, maka sepatutnya orang-orang kaya jangan memamerkan kekayaan dan hartanya dengan persembahan yang muluk-muluk dengan menuliskan nama dengan maksud agar diketahui jemaat lain. Ketika memberi persembahan kepada Tuhan, itu adalah urusan pribadi dengan Tuhan. Gereja harus mengajar jemaat dengan benar agar apa yang diberikan kepada Tuhan bukan untuk dipamerkan atau dipertunjukkan kepada jemaat lain. Sekalipun orang kaya yang memberikan persembahan tidak memiliki niat menyombongkan diri, dengan mempublikasikan nama pemberi persembahan dalam bulletin gereja, akan mempengaruhi cara pandang jemaat lain terhadap pemberi persembahan itu. Kesan awal yang akan tertanam dalam benak mereka adalah bahwa ia adalah orang kaya di gereja dan sebagainya.
Setiap jemaat harus menyadari bahwa di hadapan Tuhan baik orang kaya dan miskin memiliki kesetaraan derajat. Amsal menuliskan demikian, “Orang kaya dan orang miskin bertemu; yang membuat mereka semua ialah TUHAN” (Amsal 22:2). Dalam Amsal 28:6 juga berkata demikian, “Lebih baik orang miskin yang bersih kelakuannya dari pada orang yang berliku-liku jalannya, sekalipun ia kaya.”
Jangan Berharap pada sesuatu yang tidak pasti
Peringatan kedua yang disampaikan Paulus adalah agar Timotius memperingatkan orang kaya, “agar jangan berharap pada sesuatu yagn tidak pasti.” Pernyataan ini mengindikasikan bahwa harta dan kekayaan merupakan sesuatu yang tidak bersifat kekal dan pasti. Apa yang dimiliki seorang kaya saat ini tidak bisa dijamin akan dimiliki untuk esok hari. Berbagai faktor bisa terjadi sehingga harta dan kekayaan yang dimiliki hilang dan menguap seketika. Terkecuali seorang kaya menyadari, harta dan kekayaan yang dimiliki adalah pemberian Tuhan untuk dijaga dan dikelola selagi Tuhan mempercayakannya, maka keseluruhan hati dan jiwanya akan tertuju kepada harta dan kekayaan. Tuhan Yesus berkata, “Dimana hartamu berada di situ juga hatimu berada” (Matius 6:21; Lukas 12:34). Hal ini tentu akan lebih nyata lagi di masa pelayanan Tuhan Yesus karena pada masa itu tidak ada bank seperti sekarang ini untuk menyimpan uang. Di masa dulu orang kaya menumpuk kekayaan dan hartanya di rumah dan gudang dengan sekelompok hamba-hamba sebagai penjaga. Sekarang ini berbeda, orang menyimpan uang di bank, dan saham. Namun satu hal yang masih sama bahwa hati manusia masih tetap tertuju pada hartanya sekalipun itu di simpan di bank dan saham. Mereka selalu kuatir akan apa yang terjadi dengan situasi dunia yang bisa membuat seketika nilai uang dan sahamnya merosot bahkan bisa membuat perusahaan dan usahanya bangkut.
Kisah Ayub merupakan suatu contoh relevan dimana harta dan kekayaannya serta anak-anak hilang dalam sekejap mata. Dalam waktu singkat ia berubah dari orang kaya menjadi orang miskin, dari orang yang memiliki anak-anak menjadi tidak memiliki anak, dari orang sehat menjadi orang sakit, dari orang yang memiliki isteri setia menjadi orang yang memilik istri yang memintanya menghujat Tuhan, dan dari orang yang memiliki sahabat-sahabat menjadi orang yang memiliki sahabat yang penuh tuduhan tak bersadar. Semua ini dialami Ayub sekalipun ia bukanlah orang yang tidak bercela di hadapan Tuhan. Kisah hidup Ayub jelas memberi gambaran ketidakpastian harta dan kekayaan yang dimiliki seseorang.
Satu lagi contoh yang disampaikan Yesus sendiri tentang ketidakpastian harta dan kekayaan yang dicatat dalam Lukas 12:16-21,
16Kemudian Ia mengatakan kepada mereka suatu perumpamaan, kata-Nya: “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. 17Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku. 18Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. 19Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! 20Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? 21Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah” (Lukas 12:16-21).
Terlihat ada suatu perencanaan matang tentang penumpukan harta dan kekayaan agar dikemudian hari ia tinggal menikmati apa yang dimiliki. Namun satu hal yang tidak diketahui, Tuhan sudah menetapkan setiap orang kapan ia lahir dan kapan ia mati. Yang jelas, harta dan kekayaan tidak akan bisa dibawa mati. Ketika ajal tiba, semua yang dimiliki di bumi akan ditinggal dan kemudian akan dinikmati mereka yang masih hidup. Itulah yang terjadi pada kisah yang disebut Yesus di atas. Kematian yang senantiasa bisa terjadi kapan saja, meruntuhkan nilai harta dan kekayaan menjadi sesuatu yang tidak pasti. Oleh karena itu mereka yang sudah percaya kepada Tuhan Yesus harus memiliki sikap bahwa apa yang dimiliki adalah milik Tuhan yang mana ia dipercaya untuk mengelolanya dengan baik untuk dipergunakan bagi kemuliaan Tuhan.
Sebagai orang kaya, jangan pernah mengganggap diri bijak dalam mengelola titipan Tuhan. Namun inilah fakta yang terjadi, “Orang kaya menganggap dirinya bijak” (Amsal 28:11a) yang bisa mengurus segala sesuatu. Sebagai akibatnya ia mempertunjukkan bahwa ia tidak membutuhkan Tuhan dalam mengurusi semua harta dan kekayaannya. Kerendahan hati selalu hilang dari sikap dan prilaku orang-orang kaya. Tetapi mereka yang takut kepada Tuhan, ia akan memohon hikmat dari Tuhan untuk mengelola segala berkat dan pemberian Tuhan demi kemuliaan Tuhan.
Orang kaya harus menyadari bahwa harta dan kekayaan merupakan sesuatu yang tidak pasti. Oleh karena itu, selagi masih memiliki kesempatan, kejarlah sesuatu yang pasti yaitu hidup kekal di dalam Kristus Yesus dan pergunakanlah berkat dan pemberian Tuhan yang berupa harta dan kekayaan untuk kemuliaan Tuhan dan memperluas kerajaan Tuhan di bumi ini. Hidup kekal di dalam Kristus adalah kepastian absolut yang tidak akan pernah hilang bagi mereka yang sudah percaya kepada Yesus Kristus. Allah sendirilah yang menjadi kekayaan sesungguhnya yang dimiliki mereka yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Mereka harus menikmati Tuhan dalam kehidupan sehari-hari karena manusia dicipkatakn untuk itu.
MANFAAT KEKAYAAN BAGI ORANG PERCAYA
Disamping peringatan negatif yang disampaikan Paulus kepada Timotius untuk memperingatkan jemaat kaya di gereja Efesus, ia juga memberikan peringatan positif agar orang-orang kaya menyadari dan mengetahui apa yang harus mereka perbuat dengan harta kekayaan yang dimiliki. Melihat penggunaan tensis kata “peringatkanlah” dalam bahasa Yunani (1 Timotius 6:17), Timotius diperintahkan untuk terus menerus memperingatkan atau berulang-ulang memperingatkan orang kaya seperti seorang ayah memperingatkan dan menasihatkan anak-anaknya untuk senantiasa melakukan hal yang baik dan benar. Gereja Efesus, tempat Timotius melayani saat itu, meski bukan lagi gereja baru karena Paulus sudah pernah tinggal di sana hampir tiga tahun, Timotius harus tetap melanjutkan pengajaran yang sudah disampaikan Paulus sebelumnya termasuk memperingatkan para orang kaya atas bahaya yang mengintai mereka. Ia bukan hanya memberikan berbagai larangan tetapi juga menyampaikan perintah yang harus dilakukan dalam mempertunjukkan buah-buah iman dalam kehidupan sehari-hati.
Ada empat hal yang perlu diperingatkan kepada orang kaya yang ada di gereja. Pertama, mereka harus berbaut baik. Kedua, mereka harus kaya dalam kebajikan. Ketiga, mereka harus suka memberi. Keempat, Mereka harus memfokuskan diri untuk mengumpulkan harta di sorga.
Mereka harus berbuat baik
1 Timotius 6:18 dimulai dengan kalimat ini, “Peringatkanlah agar mereka itu [orang kaya] berbuat baik.” Apa sebenarnya yang dimaksud Paulus dengan peringatan ini? Kalimat ini bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, kalimat ini bisa saja berbicara tentang kekayaan yang didapatkan orang kaya harus didapatkan dengan cara yang baik dan benar. Sebagai orang percaya mereka tidak bisa mengikuti cara-cara kotor dan jahat demi keuntungan sebesar-besarnya seperti dilakukan banyak orang yang tidak mengenal Tuhan. Orang Kristen harus jujur dalam berbisnis dan berusaha dan tidak menempatkan diri pada situasi dan keadaan yang abu-abu. Mereka harus melakukan pekerjaannyaa sebaik mungkin sebagai kesaksian kepada orang lain yang bekerja dengan dan bagi mereka. Sedapat mungkin mereka harus menghindari berbagai tuduhan-tudahan kotor dalam bekerja, berbisnis dan berusaha.
Mungkin ada cara-cara kerja dan usaha yang dilakukan tidak pantas ketika masih belum mengenal Yesus sebagai Tuhan, hal-hal itu harus ditinggalkan. Cara mereka berhubungan dengan bawahan dan atasan harus berubah. Cara mereka dalam membangun relasi harus penuh kejujuran dan ketulusan dan bukan tipu daya dan kelicikan. Kekayaan dan harta yang didapatkan dengan cara tidak halal dan jujur bukan datang dari Tuhan tetapi dari Setan. Oleh karena itu orang Kristen kaya harus menguji setiap langkah dan prinsip kerja dan usaha yang dijalani agar tidak bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan.
Kedua, kalimat ini bisa saja berbicara tentang melakukan perbuatan baik untuk orang lain. Hal seperti ini ditegaskan Paulus kepada jemaat Galatia ketika ia berkata demikian, “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Galatia 6:10). Mengulurkan tangan dalam meringankan beban orang lain yang berkekurangan adalah hal yang selalu disinggung dalam Firman Tuhan. Membantu mereka yang miskin, janda dan yatim-piatu merupakan hal mulia yang bisa dilakukan orang kaya. Namun Paulus dalam Galatia 6:10 menegaskan bahwa meskipun membantu semua lapisan masyarakat yang menghadapi berbagai keadaan buruk adalah hal yang baik, tetapi ia menekankan, membantu kawan-kawan seiman harus menjadi prioritas orang Kristen. Tetapi hal yang harus diwaspadai orang Kristen, jangan sekali-kali membantu orang lain dengan maksud tersebunyi atau dengan tujuan tertentu. Membantu kawan seiman adalah perintah Tuhan dan harus dilakukan dengan tulus ikhlas dan tanpa pamrih. Membantu jemaat dalam gereja bukan dimaksudkan agar orang yang dibantu tunduk dan tidak melawan terhadap orang yang membantu atau tidak dimaksudkan agar bisa menindas orang yang dibantu.
Membantu orang-orang yang berkekurangan dan membutuhkan dalam gereja jangan dilakukan dengan cara-cara yang dilakukan orang-orang duniawi. Orang duniawi berkata, “saya bantu kamu sekarang dan kamu harus bantu saya di masa yang akan datang.” Hal ini sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Cobalah perhatikan dalam acara pesta pernikahan. Hampir dalam setiap suku memiliki tradisi dimana orang yang menerima ampolop persembahan atau kado pernikahan, mencatat nilai dan barang yang diterima dari orang lain dengan maksud agar di kemudian hari ketika orang itu atau anak dan anggota keluarganya melakukan pesta pernikahan, ia akan membalas dengan nilai yang sama atau hampir sama dengan yang sudah diterima. Anak yang menerima amplop merah (angpao) pada hari raya Imlek, juga dicatat orangtuanya agar bisa membalasnya kembali di kemudian hari. Cara seperti ini adalah cara duniawi yang tidak merefleksikan cinta dalam Kristus. Kristus tidak pernah mengajarkan pola dan cara ini. Jika ingin memberi dan membantu orang lain maka berilah dengan ikhlas dan tulus dan jangan pernah berharap imbalan atau balasan apapun juga dari orang yang menerima bantuan itu. Orang kaya yang memberi dan melakukan hal-hal baik harus menyadari bahwa itu adalah tanggungjawabnya karena perintah Tuhan. Tuhanlah yang akan membalas segala perbuatan baik yang dilakukan kepada orang lain dan bukan orang yang menerima bantuan itu.
Diawal berdirinya gereja mula-mula sikap suka memberi merupakan bagian dari kehidupan orang-orang percaya (Kisah 2:41-47) dan hal itu harus terus dilestarikan orang-orang Kristen di masa moderen ini karena Tuhan tetap memerintakan untuk berbuat baik dan menolong orang lain.
Mereka harus kaya dalam kebajikan
Frasa “Peringatkanlah agar mereka . . . menjadi kaya dalam kebajikan” (1 Timotius 6:18) memberi penegasan bahwa orang-orang kaya harus kaya bukan hanya dengan harta tetapi juga kaya dalam kebajikan. Apa dan bagaimanakah seseorang bisa menjadi kaya dalam kebajikan? Ini merupakan pekerjaan sulit dan tidak lazim bagi manusia. Manusia sudah terbiasa dengan sifat egois dan mementingkan diri sendiri karena itu adalah bawaan lahir dan tidak ada yang bisa mengubah sifat dan karakter itu. Hanya Roh Tuhan yang bekerja di dalam hati orang percaya yang bisa mengubah seseorang menjadi manusia baru termasuk baru dalam bersikap dan bertindak dalam hal kekayaan dan harta. Perubahan itu bukan hasil usaha manusia atau pengaruh orang lain tetapi pembaruhan yang dikerjakan Roh Kudus.
Bagaiamanakah orang kaya mendapatkan harta dan kekayaannya? Tentu dengan bekerja keras dan berusaha. Ini adalah hal pasti dan dengan berjalannya waktu, dan berkat pertolongan Tuhan, pekerjaan dan usaha keras menghasilkan uang dan kekayaan. Jika untuk mendapatkan harta dan kekayaan ada usaha dan kerja keras, maka untuk membuat orang kaya menjadi kaya dalam kebajikan sudah tentu menuntut usaha dan tindakan yang harus dilakukan dalam melawan tabiat lama yang melekat pada dirinya. Meningkari diri untuk tidak menjadi egois dan mementingkan diri sendiri adalah langkah penting yang perlu dilakukan orang kaya dan perlu ada usaha dan perjunganan untuk itu. Ia harus menyadari bahwa ia mengikuti petunjuk dan ajaran dari Tuhan. Orang lain dan anggota keluarganya mungkin tidak menyukainya tetapi ia harus melakukan apa yang diperintahkan Tuhan.
Untuk menjadi kaya dalam kebajikan bukanlah suatu hal yang dilakukan sekali atau dua kali dalam hidup. Perintah ini sekali lagi harus dilakukan berulang-ulang selagi masih memiliki kesempatan dalam hidup. Ia harus dengan tidak bosan-bosannya dan lelah berbuat baik atau kebajikan kepada orang lain sekalipun orang itu adalah musuhnya. Firman Tuhan menegaskan agar membantu siapa saja yang membutuhkan selagi memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu.
Mereka harus suka memberi
Coba perhatikan kembali kalimat ini, “Peringatkanlah agar mereka itu . . . suka memberi dan membagi” (1 Timotius 6:18). Timotius memiliki tugas berat untuk mengajar orang kaya bagaimana mengurus harta dan kekayaannya. Ia tidak memiliki pilihan untuk berkompromi dalam hal ini. Ini perintah ilahi yang harus dilakukan. Keberanian Timotius dalam menegur dan mengajar orang-orang kaya bukan datang dari dirinya sendiri tetapi dari Tuhan yang memberikan perintah itu. Ia harus melakukan hal itu, jika tidak, ia tidak mengajarkan seluruh maksud Allah (Kisah 20:27).
Sangat disayangkan bahwa di masa gereja sekarang ini, perintah ini sering diabaikan para pelayan-pelayan Tuhan dalam gereja. Jangankan memperingatkan orang-orang kaya untuk mengurusi kekayaan dan hartanya, jemaat kaya yang sudah korupsi dan melakukan penipuan dan kejahatan sekalipun, dibairkan begitu saja tanpa menegakkan disiplin gereja. Para hamba Tuhan tidak memberikan teguran dan nasihat sama sekali. Parahamba Tuhan tidak memiliki keberanian menegakkan kebenaran Firman Tuhan. Mereka lebih takut kepada manusia daripada kepada Tuhan (ref. Galatia 1:10).
Peringatan di atas adalah hal lazim yang perlu dilakukan gembala jemaat agar orang kaya tidak melakukan kesalahan dan dosa di hadapan Tuhan. Suka memberi kepada Tuhan dan umat Tuhan adalah karakter mulai yang harus dibagun dalam diri orang kaya. Memberi kepada Tuhan berkaitan dengan dukungan dan persembahan dalam memperluas kerajaan Tuhan di bumi ini. Mendukung pelayanan gereja dan misi adalah satu hal yang perlu diperhatikan jemaat kaya dalam gereja. Injil bukan hanya bagi kelompok yang tinggal di lingkungan sekitar tetapi juga harus diberitakan ke berbagai wilayah dan Negara. Untuk mencapai tujuan itu tentu dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Kerelaan dan kesukaan orang kaya dalam membantu pelayanan harus menjadi perhatian orang kaya. Namun keyataannya, orang-orang yang paling pelit memberi kepada Tuhan dan membantu pelayanan gereja dan misi adalah orang-orang kaya. Uang mereka tidak bisa disentuh dan tersimpan dalam berbagai saham dan investasi. Orang yang selalu suka memberi dan membantu pelayanan gereja adalah mereka yang memiliki pengasilan pas-pasan. Karena cinta dan kasih mereka kepada Tuhan, dengan rela menyisihkan apa yang mereka miliki untuk dipakai dalam pelayanan Tuhan.
Suatu kali dosen saya pernah berkata dalam kelas, “Jikalau engkau menggembalakan gereja kelak, jangan pernah berharap dari orang-orang kaya di dalam gejeja, karena uang mereka tersangkut dimana-mana, di saham, bank, dan investasi. Mereka tidak akan suka memberi kepada Tuhan dan pelayanan gereja.” Tentu pernyataan ini disampaikan atas dasar pengalamannnya yang sudah menggembalakan jemaat selama 50 tahun dan ia tahu bagaimana respon orang-orang kaya ketika gereja mengirimkan berbagai misionaris keberbagai Negara di Asia Tenggara. Maka tidak heran jika Paulus atas perintah Tuhan juga memberi perintah kepada Timotius untuk melakukan tugas penting ini agar orang-orang kaya tidak terlena dengan kekayaan dan mengabaikan tugas dan tanggungjawabnya sebagai orang percaya di dalam gereja.
Sesulit apapun tugas dan tanggungjawab ini, Timotius harus mengajarkannya kepada jemaat Efesus yang digembalakan saat itu. Ia tidak perlu takut kepada manusia karena perintah ini datang dari Tuhan yang mengetahui segala isi hati manusia. Orang-orang kaya tidak pelu berdalih dengan segala argumentasinya tetapi harus bertobat dan melakukan apa yang baik dan benar di hadapan Tuhan sebagai orang-orang percaya yang sudah memiliki keselamatan di dalam Kristus.
Mereka harus mengumpulkan harta di sorga
Ada suatu ucapan yang sering terdengar demikian, “orang kaya akan semakin kaya.” Ini adalah fakta nyata sehari-hari karena orang kaya akan terus terobsesi untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Mereka akan mencari kesempatan untuk mendapatkan kekayaan dalam berbabagai cara sekalipun itu akan merusak, merugikan dan menghancurkan orang lain. Sikap ingin mengumpulkan harta sebanyak mungkin menjadi obsesi dan ambisi. Sangat jarang orang kaya yang tidak memilik ambisi seperti itu. Sikap ini adalah sikap alami semua orang kaya. Tetapi orang kaya Kristen seharusnya tidaklah demikian. Ia adalah manusia yang sudah menerima pembaharuan dimana seluruh hidupnya harus menjadi kehidupan yang berkenan dan memuliakan Tuhan. Segala sesuatu yang dilakukan harus sesuai dengan terang Firman Tuhan. Cara dan langkah dalam mendapatkan kekayaan harus sesuai dengan prinsip rohani yang terdapat dala Firman Tuhan. Keinginan untuk mendapatkan harta yang lebih banyak bisa saja dimiliki, tetapi niat itu harus sesuai dengan kehendak Tuhan dan memastikan cara-cara yang dilakukan sesuai dengan petunjuk Firman Tuhan.
Namun demikian Paulus memberitahukan kepada Timotius bahwa orang-orang kaya harus diperingatkan agar mereka mengumpulkan harta di sorga. “Peringatkanlah agar mereka itu . . . mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya” (1 Timotius 6:18-19). Orang kaya sudah tahu bagaimana mengumpulkan harta di dunia ini tetapi mereka harus diajar bagaimana mengumpulkan harta di sorga.
Apa sebenarnya maksud Paulus dengan perkataan ini? Tidak menjadi rahasia lagi bahwa orang kaya akan selalu berusaha melipatgandakan kekayaannya dalam segala kesempatan dan keadaan. Hal inilah yang membuat mereka sering lupa bahwa hidup ini bukan hanya selama masih ada di dunia ini tetapi masih ada hidup setelah kematian. Untuk bisa memiliki hidup abadi setelah kematian, manusia harus mendapatkan dan memastikan kehidupan itu selagi mereka masih hidup di dunia ini (Ibrani 9:27) karena setelah kematian tidak ada lagi kesempatan kedua untuk mendapatkan hidup kekal tetapi hanyalah penghakiman. Oleh karena itu mempergunakan setiap waktu untuk mengumpulkan harta di sorga semasa hidup di dunia ini adalah hal yang perlu diajarkan dan diingatkan kepada orang kaya. Kekayaan dan harta duniawi tidak akan bisa dibawa mati dan dipergunakan setelah kematian. Semua itu akan tinggal di bumi ini dan dipergunakan dan dihabiskan mereka yang masih hidup.
Hal terpenting di sini bahwa peringatan harus disampaikan Timotius kepada orang-orang kaya yang ada di gereja dan bukan orang-orang kaya di luar gereja. Mereka adalah orang-orang yang sudah mengklaim diri sebagai orang percaya dan menjadi pengikut Kristus. Namun jika melihat kegiatan dan kehidupan mereka sehari-hari, mereka hanya memperdulikan hal-hal duniawi dan mengumpulkan harta sebanyak mungkin. Mereka tidak hadir dalam kumpulan orang-orang kudus dan persekutuan (Ibrani 10:24-25). Mereka meninggalkan segala kegiatan gereja. Mereka sudah merasa sudah cukup rohani jikalau sudah hadir dalam ibadah minggu. Di luar dari kegiatan ibadah minggu, mereka tidak akan pernah memperdulikan hal-hal rohani lainnya. Inilah bahaya besar bagi gereja. Ketidakperdulian untuk bertumbuh dalam kerohanian dan pengetahuan Firman Tuhan mempertunjukkan bahwa mereka tidak memahami apa itu sesungguhnya percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Justru sebaliknya, hal-hal itu mempertanyakan apakah mereka sebenarnya sungguh-sungguh percaya kepada Yesus Kristus atau tidak. Jikalau mereka mencintai Tuhan maka mereka harus mempertunjukkannya lewat kesetiaan mereka kepada Tuhan dalam ibadah dan penyembahan. Inilah hal logis yang akan mereka lakukan.
Jika orang Kristen kaya hanya memikirkan kekayaan dan harta, maka mereka persis sama seperti perumpamaan yang diajarkan Tuhan Yesus Kristus dalam Lukas 12:16-20.
16Kemudian Ia mengatakan kepada mereka suatu perumpamaan, kata-Nya: “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. 17Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku. 18Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. 19Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! 20Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? (Lukas 12:16-20).
Ini adalah gambaran orang kaya yang tidak mengumpulkan harta di sorga. Ia seakan-akan ingin hidup untuk selamanya di dunia. Ia seolah-olah yang menentukan berapa lama ia harus hidup di dunia ini. Inilah kebodohan orang-orang yang hanya memikirkan harta dan kekayaan tetapi tidak memikirkan akan hidup kekal dan keselamatan. Selagi masih ada kesempatan, orang Kristen kaya harus bertobat dan mulai mengumpulkan harta di sorga. Harta di sorga di sini adalah mengamalkan kebenaran dan melakukan apa yang diperintahkan Tuhan dalam Firmannya. Mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendalami Firman Tuhan serta menaati dan mengamalkannya adalah bentuk pengumpulan harta di sorga. Secara singkat Tuhan Yesus pernah menyampaikan pernyataan ini, “33Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. 34Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:33-34). Orang percaya harus menyadari bahwa berkat datang dari Tuhan. Tuhan mengetahui apa yang dibutuhkan setiap orang percaya. Dengan mendekatkan diri kepada Tuhan dan mencari kebenaran dan kerajaan Allah maka Tuhan sendiri akan mencukupi kebutuhannya pada waktunya.
KESIMPULAN
Kekayaan dan harta yang diberikan Tuhan kepada orang percaya bukan semata-mata hanya untuk diri mereka sendiri tetapi juga untuk dipergunakan bagi pelayanan dan membantu orang-orang yang berkekurangan. Orang Kristen jangan pernah menganggap bahwa apa yang dimiliki bisa dilakukan sesukanya. Sikap seperti itu bukanlah sikap orang yang tidak mengenal Tuhan. Ia harus bertanya pada diri sendiri apa yang diperintah Tuhan baginya untuk mempergunakan harta dan kekayaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Jika ia merasa bahwa ia bisa menggunakan apa yang dimiliki sesuka hati maka ia bukanlah orang percaya yang mengetahui kehendak Tuhan dalam hidupnya. Ia bukanlah seorang yang bijaksana yang mempergunakan harta dan kekayaannya untuk kemuliaan Tuhan.
Nasihat Paulus kepada jemaat Roma menegaskan bahwa adalah tanggungjawab orang-orang percaya yang berkecukupan untuk mengulurkan tangan dan membantu mereka yang berkekurangan. “Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!” (Roma 12:13).