APAKAH ENGKAU MENGASIHI AKU? (Bagian 7)
Oleh Samson H
Nas: Yohanes 21:17
Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: “Apakah engkau mengasihi Aku?” dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku”
Kebiasaan manusia untuk selalu mempertunjukkan dirinya tidak salah dan selalu sempurna sudah menjadi sifat alam manusia. Bahkan selipun apa yang diperbuat benar-benar salah, selalu ada bantahan dan sanggapan serta pembelaan diri. Sangat jarang orang langsung mengakui kelemahan dan kesalahannya. Jika ada yang melakukan hal itu, biasanya ada kata-kata atau kalimat bersambung dari pengakuannya seperti “tapi” atau “tetapi.” Ia tidak rela dipersalahan total atas apa yang terjadi maka pembelaan dan sanggahan adalah respon alami.
Ketika Petrus menyangkal Tuhan Yesus, ia menyadari bahwa ia sudah salah. Ia menangisi kegagalannya. Ia tidak pernah menyangkal kegagalannya karena ia sadar sudah mengingkari Yesus tiga kali dalam waktu yang cukup singkat. Ia menyesal, dan hatinya hancur karena perbuatan itu, namun ia tidak bisa mengubah keadaan itu karena semuanya sudah terjadi dan kegagalan itu akan selalu dalam ingatannya sepanjang hidupnya.
Tiada yang lebih menyedihkan baginya di saat Yesus bertanya untuk ketiga kalinya, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Sebagai manusia, bisa saja ia berpikir bahwa Yesus meragukan pengakuannya yang pertama dan kedua, sehingga harus menanyakan untuk ketiga kalinya. Bisa saja ia berpikir, bahwa Yesus telah menanyakannya dengan ‘mengasihi dengan kasih agape, kasih tanpa syarat dan penuh pengorbanan,’ tetapi ia hanya bisa menjawab dengan kasih fileo, kasih antar sesama sahabat. Jadi pertanyaan ini sungguh membuatnya sedih, dan ia tidak bisa disembunyikan raut wajahnya seperti yang dituliskan Yohanes, “Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya.”
Jika memperhatikan pertanyaan pertama dan kedua yang disampaikan Yesus, sangat jelas pengakuan dan deklarasi kasih Petrus diterima Yesus ketika Ia berkata, “Gembalakanlah domba-dombahku.” Tetapi pertanyaan ketiga ini menjadi pukulan keras baginya karena mengingatkannya akan segala klaim yang dilontarkannya selama ini, bahwa ia sungguh mengasihi Yesus dan rela mati bagiNya. Ia berulang kali menyombongkan kasihnya kepada Yesus selama bersama murid-muridNya tetapi pada kenyataannya ia gagal menunaikan apa yang ia janjikan.
Namun jika memperhatikan pertanyaan ketiga yang disampaikan Yesus ada perbedaan dari dari kedua pertanyaan sebelumnya. Di sini, Yesus tidak lagi memakai kata kerja “mengasihi” yang berasal dari kata agapaō tetapi Ia memakai kata kerja “mengasihi” yang berasal dari kata kerja phileō. Jadi Yesus bertanya, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi [phileō] Aku?” Saya pribadi berkeyakinan bahwa yang membuat Petrus sangat sedih bukan hanya karena Yesus menanyakannya tiga kali tetapi juga karena Yesus menurunkan tuntutanNya ke tingkat manusia dengan memakai kata kerja “phileō.” Yesus di sini seakan-akan ingin memberitahukan Petrus, “Jika engkau, Petrus, tidak bisa mengasihi Aku dengan kasih agape, kasih yang tanpa syarat dan penuh pengorbanan, karena kamu takut tidak sanggup melakukannya, apa engkau mengasihi Aku dengan kasih fileo, kasih seorang sahabat yang rela mati buat sahabatnya?” Yesus mengasihi Petrus dengan kasih agape, dengan rela mati di kayu salib demi menyelamatkannya dari hukuman dosa. Sekarang Ia bertanya kepada Petrus, “apakah engkau mengasihi Aku dengan rela mati bagiKu sebagai seorang sahabat?”
Dalam kesedihan Petrus mengungkapkan dan menumpahkan isi hatinya dengan berkata, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Ini adalah jawaban yang paling bijaksana dan tanpa kepura-puraan. Ia tahu bahwa Yesus adalah Tuhan, oleh karena itu Ia mengetahui setiap perkataan yang ingin disampaikan Petrus dan mengetahui isi hatinya. Ia tidak sekedar memberi jawaban, karena ia sungguh memilih kata yang tepat ketika menyampaikan jawabannya.
Petrus memakai kata kerja “tahu” yaitu kata kerja oida dan bukan kata kerja “tahu” yaitu kata kerja ginoskō dalam bahasa Yunani. Kata kerja “tahu” [oida] sering diartikan dengan pengetahuan penuh dan bukan pengetahuan progresif atau pengetahuan yang dipelajari. Jadi Petrus memberitahukan bahwa Yesus sungguh mengetahui segala sesuatu. Yesus mengetahui dirinya melebihi dirinya sendiri, dan mengetahui segala sesuatu tentang dirinya. Ia tidak bisa menyembunyikan apapun karena Yesus itu Mahatahu. Ia adalah Tuhan yang Mahatahu.
Sementara kata kerja “tahu” yaitu ginoskō adalah suatu pengetahuian progresif yang diperoleh melalui pembelajaran. Petrus tidak memakai kata ini dalam jawabannya. Petrus dengan hikmat dari Tuhan memberikan jawaban yang tepat di hadapan Yesus dan murid-murid lain. Tentu para murid yang hadir pada saat itu juga memahami betul apa yang disampaikan Petrus. Mereka juga pasti dikuatkan dan diyakinkan bahwa Petrus sungguh sudah berubah dan bertobat serta pantas mengemban tugas baru yang diberikan Yesus yaitu menggembalakan domba-domba Kristus, yaitu jemaat, umat percaya.
Tahukah engkau bahwa Yesus juga mengetahui segala sesuatu tentang dirimu? Kelemahan, kegagalan, kerakusan, keberdosaan, kesombongan, kebobrokan dan kemunafikanmu, dan tak satupun yang tersembunyi dari hadapanNya. Namun Ia menginginkanmu mengakuinya dihadapanNya. Ia ingin engkau menyampaikan segala isi hatimu dan membuktikan diri sebagai seorang yang sungguh mengasihi Yesus sama seperti yang dilakukan Petrus. Ia ingin engkau kembali kepadaNya sekalipun engkau sudah gagal berulang kali. Ia ingin engkau merendahkan diri dihapadanNya dengan mengakui kesalahan dan kegagalanmu. Tangisilah kegagalanmu dan datanglah kepadaNya, dan Ia akan memulihkanmu. Tuhan itu setia. “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yohanes 1:9).
Adakah umat Kristen yang tidak pernah gagal dalam mengikut Yesus? Sudah barang tentu setiap orang percaya pernah gagal. Abraham sendiri, yang dikenal sebagai bapak orang beriman juga pernah gagal. Raja Daud yang dikenal sebagai orang yang dekat di hati Tuhan juga pernah gagal. Yang terpenting di sini bukan kegagalan dan jenis kegagalan yang dilakukan mereka tetapi bagaiman mereka bertobat dan kembali dipulihkan di hadapan Tuhan. Pengalaman setelah pertobatan itulah yang harus dimiliki dan dirasakan oleh seorang percaya. Ada pengampunan dan pemulihan. Janganlah menjauh dari Tuhan tetapi datanglah kepadanya dengan pertobatan dan dengan penuh dedikasi.